Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang memiliki arti teman atau kawan, dan Logos memiliki arti ilmu pengetahuan. Jadi secara singkatnya sosiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang interaksi manusai sebagai makhluk sosial. Dilihat dari sejarah perkembangannya, sosiologi berkembang di Eropa, tetapi perkembangan selanjutnya yang mengantar pada sosiologi modern justru banyak terjadi di Amerika Serikat dan Kanada. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan situasi dan kondisi masyarakat di daerah tersebut. Di dalam sejarah perkembangan masyarakat, abad 20 adalah abad dimana gelombang besar emigrasi besar-besaran berdatangan ke Amerika Utara yang berdampak pada pesatnya pertumbuhan penduduk, sehingga memunculkan kota-kota industry baru, yang tentu saja pesatnya pertumbuhan penduduk dan industry tersebut akan membawa gejolak kehidupan sosial perkotaan seperti kriminalitas, kerusuhan yang berbau perkotaan dan berbagai tuntutan seperti tuntutan kaum buruh dan hak-hak kaum perempuan. Perubahan inilah yang mendorong para sosiolog untuk berpikir tentang gejala sosial yang terjadi yang analisa ilmiahnya sudah tidak relevan dengan menggunakan pendekatan dalam sosiologi sebagaimana yang banyak digunakan di Eropa pada masa sebelumnya. Berangkat dari permasalahan tersebut akhirnya para ilmuan sosial mencari pendekatan baru dalam menganalisa permasalahan tersebut yang pada akhirnya lahirlah sosiologi modern yang lebih bersifat mikro, dalam arti lebih bersifat empiris. Tokoh sosiologi modern yang terdapat pada buku karya sosiolog George Ritzer yaitu Erving Goffman, Jmaes Coleman, Harold Garfinkel, Daniel Bell, Norbert Elias, Jurgen, Habermas, Anthony Giddens, Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Judith Butler dan Michel Foucaul.
Michel Foucault dilahirkan dari keluarga kaya di Perancis pada 1926. Foucault merupakan pemikir besar abad 20 yang berpengaruh. Studinya mengenai kegilaan, pengetahuan, institusi dan seksualitas memiliki pengaruh pada berbagai bidang ilmu seperti kriminologi, filsafat, politik dan sosiologi. Foucault mendeskripsikan profil dirinya sebagai sejarawan sistem pemikiran. Studinya mengenai genealogi ilmu pengetahuan mengungkap bagaimana sistem pengetahuan bertransformasi secara radikal. Sistem pemikiran masyarakat Barat dibagi menjadi tiga periode menurut Faucault: era renaisans, era klasik, dan era modern. Masing-masing era memiliki epistemologi yang berbeda. Oleh karena itu, cara orang membangun pengetahuan di masing-masing periode berbeda. Foucault juga dikenal sebagai pemikir kunci aliran poststrukturalisme. Klasifikasi pengetahuan, menurutnya, adalah produk relasi kuasa. Foucault merupakan tokoh sosiologi modern yang paling banyak dikutip.
Berdasarkan hal tersebut penyusun tertarik membuat makalah yang berjudul “ Pemikiran Michel Foucault dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Dalam tulisan ini, penyusun mencoba menguraikan konsep kekuasaan Michel Foucault berdasarkan beberapa karya utama yang ia tulis semasa hidupnya dan menerapkannya dengan menggunakan objek karya sastra yaitu novel.
1.Siapa Michel Foucault?
2.Bagaimana konsep pemikiran Michel Foucault?
3.Bagaimana penerapan konsep pemikiran Michel Foucault dalam karya sastra?
A.Michel Foucault
Michel Foucault lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Poiters, Prancis dengan nama Paul Michel Foucault. Ibunya bernama Anne Malapert, anak dari seorang dokter bedah. Ayahnya juga seorang ahli bedah sekaligus guru besar dalam bidang anatomi di sekolah kedokteran Poiters.
Foucault kecil tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pendidikan ketat, yang ternyata juga merupakan anti-klerikal. Keluarga yang cenderung menjaga nilai-nilai tradisi daripada nilai-nilai agama dalam pendidikan keluarga. Sekolah dasarnya ia tempuh di Lycee Henry IV dan College Saint Stanislas di Poiters. Ia selalu mendapat nilai terbaik (prix d’excellence) untuk pelajaran Sejarah Yunani, bahasa Latin, dan bahasa Yunani. Hal inilah yang kemudian mendorong Foucault masuk ke Ecole Normale Superieure (ENS), meskipun pilihan tersebut bertetangan dengan ayah dan kakeknya yang menginginkannya meneruskan keahlian mereka sebagai dokter bedah.
Foucault diterima di Ecole Normale Superiure pada tahun 1944 di bawah bimbingan G. Canguilhelm, J. Hyppolite, dan G.Dumezil. lalu pada tahun 1948 ia mendapatkan lisensi dalam filsafat dan disusul lisensi dalam psikologi pada tahun 1950. Foucault kemudian bekerja di Ecole Normale Superiure dan menjadi anggota partai komunis di Perancis setelah perng dunia ke-II selesai.
Pada tahun 1954 ia menerbitkan buku berjudul Meladie Mentale et Personnalite (penyakit jiwa dan kepribadian). Selama periode 1954-1958 ia juga bekerja sebagai dosen di Universitas Uppsala (Swedia) pada bidang sastra dan budaya Prancis, dan pada tahun 1958 ia menjadi direktur kebudayaan Perancis di Warsawa. Pada tahun 1959 ia menjadi direktur juga di Hamburg sekaligus menyelesaikan buku Folie et Deraison. Historie de la Folie a I’age Classique’ (Kegilaan dan nir-rasio. Sejarah kegilaan dalam zaman klasik).
Tahun 1963, disertasinya diedit dan dibukukan dengan judul Historie de la folie (sejarah kegilaan). Tetapi karya monumentalnya adalah Les mots et les choses. Une archeologie des sciences humanies (kata-kata dan benda-benda. Sebuah arkeologi tentang ilmu-ilmu manusia) yang terbit pada tahun 1966. Karya Foucault dipandang sebagai aras strukturalisme Perancis yang masyur. Ketika karyanya yang berjudul L’archeologie du savoir (arkelologi pengetahuan) terbit pada tahun 1969, karya itu disambut masyarakat dengan antusias.
Sepanjang periode 1960-1976, Foucault sibuk dengan karya ilmiah dan aktivitas mengajarnya. Tahun 1960-an ia mengajar di Tunisia, Montpellier, Clemond-Ferrand, dan Paris-Nanterre. Ia juga mendirikan universitas Paris-Vincennes. Lalu pada tahun 1969 ia dipilih sebagai profesor di College de France. Tahun 1975, ia menerbitkan buku Surveiller et punir. Naissance de la prison. (Menjaga dan menghukum. Lahirnya penjara). Salah satu laporan penelitian Foucault yang menarik minat umum adalah riwayat hidup seorang pembunuh yang dulunya hidup sederhana di sebuah desa pada abad 19. Riwayat itu ditulis sendiri oleh sang pembunuh, Pierre Riviere, yang kemudian didokumentasi Foucault dalam judul Moi, Pierre Riviere, ayant egorge ma mere, ma soeur et mon frere..(Aku, Pierre Riviere, setelah membunuh Ibu, Saudari, dan Saudaraku…) dan diterbitkan pada tahun 1973. Pada tahun 1976, Foucault kembali menerbitkan salah satu karya besarnya yang berjudul Histoire de la sexualite (sejarah seksualitas) yang dirancang hadir dalam enam episode, namun ia hanya merampungkan tiga, masing-masing La volonte de savoir (kemauan untuk mengetahui) pada 1976, disusul L’usage des plaisirs (penggunaan kenikmatan) pada 1982, menyusul Le souci de soi (keprihatinan untuk dirinya) di tahun 1984.
Popularitas Foucault tidak saja mencuat di Perancis atau di negara-negara yang menggunakan bahasa Perancis, tetapi juga mencapai negara dengan penduduk berbahasa Inggris. Ia beberapa kali menjadi dosen tamu di Amerika Serikat dan aktif dalam perluasan idenya melalui wawancara atau artikel. Beberapa bulan setelah terbitnya Le souci de soi (keprihatinan untuk dirinya) di tahun 1984, Michel Foucault meninggal dunia. Ia tutup usia pada umur 57 tahun. Meski tidak ada konfirmasi resmi, Michel Foucault diduga meninggal karena HIV AIDS.
B.Konsep Pemikiran Michel Foucault
a. Latar Belakang Pemikiran Michel Foucault
Foucault adalah seorang yang skeptis terhadap segala macam kebenaran. Baginya segala macam klaim kebenaran adalah interpretasi atas sebuah dunia, yang sebenarnya tidak ada sebagai sesuatu yang historis. Untuk itu dia menyelidiki cara berpikir dan sejarah peradaban. Misalnya dalam Kegilaan dan Peradaban dia melukiskan bagaimana kegilaan itu didefinisikan dari berbagai kelompok yang dominan pada masa tertentu. Di sini Foucault menguraikan bahwa pandangan dan cara pengobatan seorang dokter sungguh sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi pengetahuan, institusional, pedagogis, keamanan dan seterusnya.
Salah satu tokoh yang ikut andil dalam mepengaruhi pemikiran foucault adalah Nietzsche. Namun sebelum membahas mengenai pengaruh pemikiran nietzsche terhadap foucault, akan lebih baik jika mengulas sedikit mengenai sosok Nietzsche. Nietzsche lahir di rocken, 15 oktober 1844. Dimana hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran raja Friedrich Wilhem, raja Prusia saat itu. Jika diperhatikan latar belakang keluarganya, akan terasa sangat mengherankan filsuf ini memiliki pemikiran yang kontroversial , radikal, frontal dan ateistik (hampir sama dengan latar kehidupan Karl Max). Kakek Nietzsche adalah seorang pejabat tinggi dalam gereja luteran, dimana jabatannya bisa disejajarkan dengan uskup dalam gereja katolik. Sedangkan ayahnya adalah seorang pendeta di desa rocken, dan ibunya juga lutheran yang berasal dari keluarga geraja. Kehidupan Nietzsche penuh dengan kepedihan, dimulai dari meninggalnya sang ayah saat Nietzsche berusia 4 tahun. Pada usia 14 tahun pindah sekolah ke Pforta. Di sekolah ini dia mulai mengagumi karya karya klasik yunani, selama menempuh pendidikan, pemikiran Nietzsche terus berkembang, hingga dia memperoleh kesempatan menjadi dosen di Basel, atas promosi dari gurunya karena kejeniusan Nietzsche.
Kehidupan Nietzsche yang sakit-sakitan membuat di berhenti mengajar, namun dalam kesendirian dan kesepian Nietzsche tidak berhenti menghasilkan karya karya fenomenal seperti “tentang asal usul moral, suatu polemik” dan masih banyak lagi, sedangkan ada beberapa buku pada tahun 1888 yang belum sempat diterbitkan diantaranya “pudarnya para dewa” , “lihatlah manusia”, “antikristus”, ecce homo”.
Tahun 1889 Nietzsche adalah tahun terburuk baginya karena, Nietzsche ditimpa sakit jiwa. Berbagai usaha dilakukan sahabatnya Franz Overbeck untuk menyembuhkan penyakit jiwa Nietzsche tidak berhasil, kemudian Nietzsche dipindah ke Naumburg dan dirawat oleh ibunya. 3 tahun kemudia saudarinya datang dari paraguy, karena suaminya, Foster, bunuh diri pada tahun 1889. Pada tanggal 20 april 1897 ibunya meninggal, kemudian Nietzsche di pindah ke Weimar dan meninggal disana pada tanggal 25 agustus 1990.
Pemikiran Nietzsche yang mempengaruhi foucault adalah hipotesis tentang kehendak untuk berkuasa, pejelasan mengenai hipotesisnya terdapat pada karyanya yang berjudul “ the will to power : attempt at a revaluation of all value” dalam karyanya dibahas mengenai nilai-nilai yang diajukan oleh agama, moral, dan filsafat. Kritik dalam karyanya tersebut berakhir dengan apa yang disebut nihilisme. Secara sederhana dapat diartikan nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan manusia dalam menjawab persoalan “ untuk apa ?” dengan runtuhnya nilai nilai tersebut manusia mulai dihadapkan pada persoalan bahwa segalanya menjadi tidak bermakna dan tak ternilai. Nietzsche juga mengajukan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya dapat melihat “ nilai baru”. Di sini nietzsche menggunakan pendekatan yang disebutnya genealogi dalam melihat “nilai baru” tersebut.
Foucault memang seorang penganut Nietzschean. Hal itu diakuinya terus terang dalam wawancara dengan Gilles Barbadette and Andre Scala. Di masa studinya di tahun enam puluhan, ketika orang ramai-ramai meminati Marxisme, Hegelianisme, dan Fenomenologi, Foucault menimba inspirasi untuk studinya justru dari buku-buku Nietzsche. Seperti yang ketahui, Nietzsche menggunakan pendekatan yang disebutnya genealogi, terutama hal itu diterapkan pada penelusuran asal-usul moral. Metode genealogi adalah metode yang menolak cara tafsir historigrafi yang seolah-olah mampu melihat rentetan kejadian-kejadian secara objektif belaka. Maka kalau sejarah mau merunut asal-usul dari sesuatu hal secara objektif begitu saja, genealogi mau merunut juga motivasi-motivasi di balik munculnya hal-hal itu. Genealogi juga berbeda dari pendekatan hermeneutik agama, maupun fenomenologi yang beranggapan seolah-olah sesuatu hal dapat dirunut hingga pada asal-usul terakhir, kebenaran yang mutlak. Boleh dikata, genealogi merupakan cara pendekatan hermeneutik yang penuh kecurigaan.
Melalui penelusuran genealogi moral Nietzsche sampai pada kesimpulan, bahwa moral bukanlah sesuatu yang diberikan oleh Allah, sebagai yang suci dan sempurna, bersifat tetap, abadi dan orang-orang tinggal menaati saja. Moral adalah bentukan manusia. Pemahaman genealogi moral pada Nietzsche dengan demikian dapat dikaitkan dengan segera pada posisinya sebagai ateis. Budaya Kristen Barat beranggapan telah mewarisi turun-temurun ajaran moral sebagai perintah suci dari Allah. Genealogi adalah cara tafsir yang berhati-hati, menolak pengelabuan metafisis maupun mitis yang beranggapan adanya hal-hal yang suci atau yang tetap, asasi sebagai awal dari sesuatu hal. Genealogi mau memasukkan dimensi historis dari asal-usul dan tidak mau berhenti pada kepercayaan mitis dan metafisis, sebagaimana dipegang para penganut agama dan filsuf.
Pemikiran Foucault memang dipengaruhi Nietzsche, namun dia tidak sepenuhnya sebagai pengikut Nietzsche, sebab baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal, begitu pun dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya. Foucault dikemudian hari mengembangkan metode genealogi Nietzsche, dengan melihat kaitan antara makna atau pemahaman sesuatu dengan kekuasaan yang membenarkan.
Hampir dalam seluruh uraiannya tentang kekuasaan, Foucault menggunakan gagasan dari orang lain sebagai bahan, tetapi selalu diolah dan dimasukkan secara inovatif ke dalam bangunan konsepnya sendiri. Sebab itu kita dapat menemukan konsep Nietzsche di sana. Dia menjadikan uraian Nietzsche tentang kekuasaan sebagai basis refleksi kebudayaan dan filosofisnya. Filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai oleh negara, sesuatu yang dapat diukur. Kekuasaan ada di mana-mana, karena kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.
Kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara berbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi.
b. Konsep Kekuasaan Michel Foucault
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, konsep kekuasaan Foucault sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Nietzsche. Ia melihat ada kesamaan pikiran Nietzsche tentang genealogi dengan pikirannya tentang arkeologi tapi ada unsur dalam genealogi Nietzsche yang belum nampak yaitu kuasa. Arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan merupakan inti metodologi Foucault. Arkeologi pengetahuan meliputi upaya penelitian untuk menemukan seperangkat aturan yang menentukan kondisi kemungkinan keseluruhan yang dapat dikatakan dalam wacana khusus pada waktu tertentu. Arkeologi pengetahuan juga merupakan pencarian sistem umum dari formasi dan transformasi pernyataan (ke dalam formasi diskursif). Pencarian sistem umum atau aturan-aturan umum dan fokus pada diskursus atau wacana- dokumen tertulis dan pembicaraan- mencerminkan pengaruh awal dari strukturalisme terhadap karya Foucault. Dalam menganalisis dokumen-dokumen ini, Foucault mengorganisasikan dokumen, membagi, mendistribusikan, dan mengaturnya dalam tingkatan-tingkatan, mengurutkan, membedakan antara relevan dengan yang tidak, menemukan elemen-elemen, mendefinisikan kesatuan, mendeskripsikan relasi. Genealogi kekuasaan, kesatuan pengetahuan dengan menjalankan serangkaian analisis kritis terhadap diskursus historis dan hubungannya dengan isu-isu yang menjadi perhatian, sehingga kekuasaan itu dapat menyerap ke diri sendiri dan orang lain. Jadi, pengetahuan, geneologi, dan kekuasaan merupakan konsep teoretis dan metodologi dari Michel Foucault dalam melihat hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Uraian tersebut juga menggambarkan bagaimana proses terbentuknya pengetahuan itu, hingga menjadi sebuah pengetahuan (savoir) dan bagaimana pengetahuan itu digunakan dalam kaitannya dengan kekuasaan (connainsance). Ranah pengetahuan arkeologi ada pada savoir, yaitu menghimpun berbagai sumber pengetahuan melalui seperangkat metode pengetahuannya dan metode pengetahuan bantu lainnya, hingga menjadi sebuah pengetahuan. Kekuasaan yang merupakan pengetahuan itu dapat diimplementasikan ke dalam berbagai elemen masyarakat dan pemerintah. Metode yang diterapkan dapat beragam. Akan tetapi, yang paling utama adalah kekuasaan itu selalu terasa melekat atau dilekatkan dalam setiap waktu. Selanjutnya akan dipaparkan beberapa pandangan Foucault tentang kekuasaan berdasarkan beberapa karyanya yaitu:
1. Kekuasaan dan Ilmu Pengetahuan
Dalam karyanya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, Foucault menunjukkan bahwa ada dua perubahan besar yang terjadi dalam bentuk umum pemikiran dan teorinya. Yang pertama terjadi pada pertengahan abad ketujuhbelas, yang kedua pada awal abad kesembilan belas Setelah menganalisis diskursus ilmu pengetahuan abad 17 dan 18 seputar sejarah alam, teori uang dan nilai dan tata bahasa, Foucault mengambil kesimpulan bahwa pusat ilmu pengetahuan pada waktu ini adalah tabel. Orang hendak merepresentasikan realitas dalam tabel. Tabel adalah satu sistem tanda, satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda. Dengan konsentrasi pada tabel, pengetahuan pada masa ini menjadi ahistoris.
Pada akhir abad ke18 (setelah revolusi Prancis) sampai pertengahan abad 20 (Perang Dunia II), konsentrasi wacana ilmiah pada masa ini adalah sejarah dan manusia sebagai subjeknya. Manusia dibebaskan dari segala alienasi dan bebas dari determinasi dari segala sesuatu. Manusia menjadi objek pengetahuan dan dengan demikian dia menjadi subjek dari kebebasan dan eksistensinya sendiri. Manusia menjadi pusat pemikiran. Hal ini terlihat dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dan psikologi.
Objek penelitian Foucault dalam karya ini adalah kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan lahirnya satu diskursus. Di sini Foucault menunjukkan hubungan antara diskursus ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Diskursus ilmu pengetahuan yang hendak menemukan yang benar dan yang palsu pada dasarnya dimotori oleh kehendak untuk berkuasa. Ilmu pengetahuan dilaksanakan untuk menetapkan apa yang benar dan mengeliminasi apa yang dipandang palsu.
Di sini menjadi jelas bahwa kehendak untuk kebenaran adalah ungkapan dari kehendak untuk berkuasa. Tidak mungkin pengetahuan itu netral dan murni. Di sini selalu terjadi korelasi yaitu pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Penjelasan ilmiah yang satu berusaha menguasai dengan menyingkirkan penjelasan ilmu yang lain. Selain itu, ilmu pengetahuan yang terwujud dalam teknologi gampang digunakan untuk memaksakan sesuatu kepada masyarakat. Karena dalam zaman teknologi tinggi pun sebenarnya tetap ada pemaksanaan, maka kita tidak dapat berbicara tentang kemajuan peradaban. Yang terjadi hanyalah pergeseran instrumen yang dipakai untuk memaksa.
2. Kegilaan dan Peradaban
Foucault melihat praktek pengkaplingan yang memisah-misahkan orang-orang yang sakit dari orang sehat, yang normal dari yang tidak normal merupakan salah satu bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain. Foucault menemukan bahwa pada zaman Renaissance, kegilaan dan penalaran memiliki relasi yang erat, keduanya tidak terpisah, sebab keduanya menggunakan bahasa yang sama. Masyarakat tampaknya tidak menolak gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan brilian yang lahir dari orang-orang yang dicap gila. Kegilaan adalah kebebasan imaginasi, dan masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam zaman renaissance.
Namun pada zaman setelahnya (1650-1800), dialog antara kegilaan dan penalaran mengalami pembungkaman. Keduanya dilaksanakan dalam bahasa yang berbeda, dan akhirnya bermuara pada penaklukan kegilaan oleh penalaran, perlahan kegilaan menjadi sesuatu yang asing dan disingkirkan dari kehidupan yang harus dijiwai kelogisan. Bersamaan dengan itu, kegilaan harus disingkirkan dari masyarakat yang normal. Kegilaan telah menjadi satu tema yang membuat masyarakat terpisah dan terpecah.
Apa yang terjadi dengan orang gila, berjalan beriringan dengan apa yang terjadi dengan para penjahat, orang-orang miskin dan gelandangan. Mereka semua mulai disingkirkan, dalam bentuk penjara, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan ditertibkan oleh sosok polisi dan pengadilan. Semua lembaga ini adalah bentuk yang digunakan oleh penguasa untuk menerapkan kekuasaannya atas masyarakat. Pengangguran adalah satu persoalan sosial, demikian juga semua yang menjadi alasan pengangguran, seperti kegilaan atau sakit. Orang gila dikaitkan dengan orang miskin dan penganggur. Dengan ini, etika menjadi persoalan negara. Negara dibenarkan menerapkan hukuman atas pelanggaran moral. Hukuman mati yang dipertontonkan adalah satu bukti cara pandang seperti ini. Dengan ini sekaligus hendak ditunjukkan bahwa ada kekuasaan. Eksekusi adalah tontonan yang luar biasa dan bentuk pemakluman yang paling efektif dari adanya kekuasaan yang mengontrol.
Dengan demikian, kita dapat melihat inti dari teori Foucault di sini menunjukkan bahwa sakit mental hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang mendefinisikannya sebagai demikian. Karena menyangkut definisi, maka di dalam sakit mental sebenarnya kekuasaan mendominasi. Kegilaan adalah yang berbeda dari yang biasa, dan karena yang biasa dicirikan oleh produktivitas, maka kegilaan adalah tidak adanya produktivitas. Penanganan kegilaan adalah satu bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain, bukan pertama-tama masalah pengetahuan psikologis.
3. Kekuasaan dan Seksualitas
Dominasi kekuasaan juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas. Foucault melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan. Bagaimana seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan yang terbuka tentang seks menurut Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat jumlah kelahiran. Masalah penduduk adalah masalah sosial, dan masalah ini berhubungan dengan seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha mempelajari dan mengintervensi pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan penduduk. Seksualitas menjadi masalah publik. Para pelaku sodomi, onani, nekrofilia, homo seksual, masokis, sadistis dan sebagainya ditetapkan sebagai orang-orang yang berperilaku menyimpang. Foucault menunjukkan hubungan antara seksualitas dengan kekuasaan itu dalam pengakuan dosa dalam agama Kristen. Di sini sebuah rahasia dibongkar, dan bersamaan dengan ini posisi dia yang mengetahui rahasia itu menjadi sangat kuat. Yang menjadi pendengar pengakuan dosa itu adalah para ilmuwan, secara khusus psikiater. Dalam posisi seperti ini, psikiater menjadi penentu apa yang dianggap normal dan apa yang dipandang sebagai patologis dalam perilaku seksual.
Dengan menunjukkan hubungan antara seksualitas dan kekuasaan, Foucault menggarisbawahi tesis dasarnya bahwa kekuasaan ada di mana-mana. Intervensi kekuasaan ke dalam seksualitas terjadi melalui disiplin tubuh dan ilmu tubuh, dan melalui politik populasi yang meregulasi kelahiran. Kekuasaan mulai mengadministrasi tubuh dan mengatur kehidupan privat orang. Sejalan dengan itu, resistensi terhadap kekuasaan itu pun ada di mana-mana.
4. Disiplin dan Hukuman
Pada abad ke-17 dan 18, disiplin adalah sarana untuk mendidik tubuh. Praktik disiplin diharapkan melahirkan tubuh-tubuh yang patuh. Hal ini tidak hanya terjadi di penjara, tetapi juga dalam bidang pendidikan, tempat kerja, militer dan sebagainya Masyarakat selanjutnya berkembang menurut disiplin militer. Foucault beranggapan bahwa di era monarkial tiap proses penghukuman kriminal baru dianggap serius apabila telah melibatkan elemen penyikasaan tubuh dalam pelaksanaannya.
Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol. Foucault menguraikan bahwa fenomena disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin yang diterapkan dari disiplin militer dalam masyarakat. Pertama, melalui observasi hirarkis atau kemampuan aparatus untuk mengawasi semua yang berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal. Panopticon yang terungkap dalam menara sebagai pusat penjara adalah bentuk fisik dari instrumen ini. Dengan adanya panopticon ini kekuasaan sipir menjadi sangat besar sebab para tawanan berusaha menahan diri mereka sendiri. Mereka takut dipantau. Kehadiran struktur itu sendiri sudah merupakan satu mekanisme kekuasaan dan disiplin yang luar biasa.
Instrumen kedua adalah menormalkan penilaian moral dan menghukum para pelanggar moral. Dalam hal ini kekurangan disamakan dengan kejahatan. Selain dipenjarakan, orang-orang yang menyimpang dipertontonkan. Maksudnya adalah menunjukkan kepada masyarakat betapa dekatnya manusia dengan binatang, dan manusia lain akan diperlakukan secara yang sama apabila mereka keluar dari batas-batas yang dipandang waras oleh masyarakat. Dalam keseluruhan penanganan atas penyimpangan-penyimpangan ini, psikiater atau aparat sebenarnya tidak berperan sebagai ilmuwan, tetapi sebagai kekuasaan yang mengadili.
Foucault membayangkan menara pengawas dalam panoptisme selain dioperasikan oleh petugas, dapat dipergunakan oleh banyak individu dengan berbagai kepentingan. Ia dapat menjadi tempat seorang filsuf yang haus pengetahuan akan manusia menjadi museum manusia. Ia bahkan menjadi tempat bagi mereka yang tergolong mempunyai sedikit penyimpangan seksual memperoleh kenikmatan dengan mengintip orang-orang. Dalam panoptisme inilah Foucault memperlihatkan adanya kekuasaan yang teselubung dalam berbagai institusi dan lembaga.
C.Penerapan Konsep Pemikiran Michel Foucault dalam Karya Sastra
Penerapan konsep pemikiran Michel Foucault tentang konsep kekuasaan diterapkan dalam salah satu hasil karya sastra yaitu novel. Novel yang menjadi objek penelitian yaitu novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. Berikut merupakan analisis penerapan konsep pemikiran Michel Foucault tengtang konsep kekuasaannya dalam novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan:
1.Kekuasaan dan Ilmu Pengetahuan
Seks bukan hanya masalah sensasi dan kenikmatan atau hukum dan larangan, melainkan juga pertaruhan masalah antara benar dan salah. Mengetahui apakah seks benar atau salah membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan. Seks dijadikan pertarungan kebenaran melalui wacana-wacana yang dirumuskan dalam bentuk penolakan, pelarangan, perangsangan, rayuan, dan intensifikasi. Wacana tersebut tak berniat untuk membuka atau menyembunyikan kebenaran akan seks, tapi melokalisasi keingintahuan yang memiliki fungsi sebagai objek dan instrumen kekuasaan. Tubuh yang patuh demi produktivitas merupakan sasaran dari kekuasaan. Kekuasaan ingin membentuk individu-individu yang berdisiplin supaya produktif dalam proses produksi. Oleh sebab itu, normalisasi dan pendisiplinan menjadi bagian dari strategi kekuasaan dan kebenaran. Maka upaya-upaya sensor, larangan, dan sangkalan perlu dimanifestasikan dalam bentuk wacana pengetahuan untuk mengatur hubungan kekuasaan dan seksualitas.
Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan dibuka dengan kalimat yang memikat: “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.” (hlm. 1). Kalimat itu sekaligus menerangkan kepada pembaca tentang karakter tokoh utama, Ajo Kawir. Pertama, kelamin Ajo Kawir tak bisangaceng. Kedua, Ajo Kawir senang berkelahi. Kedua hal itu rupanya saling berkaitan. Karena kelamin Ajo Kawir tak bisa ereksi, maka ia senang berkelahi tanpa takut mati. Perihal kelaminnya yang tak bisa ereksi ini dimulai dari kesenangan dua remaja, Ajo Kawir dan Si Tokek yang gemar mengintip.
Mereka mendekati jendela, dan mengintip ke dalam. Untuk ketiga kalinya Pak Kepala Desa menikah, dan kini ia berada di atas tempat tidur bersama isteri ketiganya itu. Pernikahan mereka baru seumur seminggu. Sepasang pengantin itu masih sangat bersemangat, dan penuh berahi.
“Aku suka buah dadanya,” Ajo Kawir berbisik kepada Si Tokek. “Seperti buah kelapa muda.”
“Kurasa seperti pepaya.”
“Pak Kepala Desa meletakkan kemaluannya di antara kedua buah dada isterinya.”
“Ya. Aku ingin mencobanya kelak sudah kawin.”
“Berdoa saja isterimu punya dada sebesar itu.” (hlm. 6-7).
Kedua tokoh utama ini memiliki kesadaran bahwa pintu masuk menuju praktik seks (sanggama) adalah pernikahan. Di dalam masyarakat, wacana tentang seksualitas yang terbangun ialah bahwa pasangan dewasa yang telah menikahlah yang boleh bersanggama. Di luar itu, dianggap melanggar etika dan moral. Tak peduli apakah itu pernikahan yang pertama atau pernikahan yang kesekian bersama pasangannya yang kesekian. Apalagi dalam wacana agama, melakukan sanggama di luar pernikahan dianggap sebagai pelaku zina.
Lembaga agama memiliki peranan penting terhadap wacana seksualitas yang hidup di masyarakat. Seksualitas ditempatkan dalam kerangka antara benar dan salah yang dapat menimbulkan dosa. Hal ini juga diamini oleh tokoh Ajo Kawir yang setelah mengintip Pak Kepala Desa, ia meminta kepada Tuhan untuk dihapuskan dosanya melalui praktik ibadah.
Ajo Kawir selesai mandi dan muncul dengan rambut basah. Ia mencoba mengeringkan rambutnya dengan mengusap-usapnya dengan telapak tangan.
“Kenapa kamu harus mandi malam begini?”
“Aku basah.”
“Aku juga basah.”
“Aku mau salat. Tahajud.”
“Demi Tuhan, untuk apa?”
“Siapa tahu dosaku bisa terhapus.”
“Tadi itu bukan dosa.”
“Itu dosa.” (hlm. 7).
Kesadaran akan dosa dalam mengakses seksualitas juga diterima Ajo Kawir melalui terbitan komik tentang “Surga dan Neraka” yang memang ramai sejak tahun 1980an. Bahkan, sampai hari ini, komik tersebut masih laku di pasaran dan dijadikan media pembelajaran agama bagi anak-anak oleh sebagian pemuka agama. Tak peduli begitu vulgarnya konten isi komik tersebut.
Ajo Kawir memperlihatkan komik-komiknya. Tapi ini komik tentang surga dan neraka, katanya. Bahkan kiai di surau memuji komik-komik ini. (hlm. 8).
Sekalipun demikian memikatnya komik itu bagi Ajo Kawir—yang dijadikannya sebagai pedoman tentang benar dan salah dalam berperilaku, ia dapat berkompromi dengan perbuatan dosa dengan dalih bahwa Tuhan Maha Pengampun.
“Astagfirulloh, bisakah kita cari mainan lain?” tanya Ajo Kawir. “Aku tak mau masuk neraka dan kemaluanku digigit memek bergigi.”Si Tokek tak tahu memek memiliki gigi, tapi ia tak mau memedulikan hal itu sekarang. Si Tokek membujuknya. Mengatakan bahwa jika ia melakukannya sendirian, itu tak bakal mengasyikan. Bahwa semua dosa akan diampuni kecuali kamu menyembah selain Allah (ia mendengar hal ini dari kiai mereka di surau). Jika itu memang lebih hebat, kata Ajo Kawir ragu-ragu, mari kita lihat. (hlm. 9).
Persoalan dosa dan ampunan dalam seksualitas yang diwacanakan oleh lembaga agama saling tarik menarik. Menjadi paradoks, bahwa seks pranikah akan menimbulkan dosa, tapi dapat diampuni jika tulus bertobat. Ini juga merupakan salah satu bentuk kesalinghubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Lembaga agama dengan wacana pengetahuan akan dosa berupaya menundukkan umat untuk lebih patuh terhadap aturan-aturan agama.
2.Kegilaan dan Peradaban
Dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan Kesenangan mengintip ini kemudian berlanjut pada sebuah malapetaka yang nantinya menimpa Ajo Kawir. Dua sahabat ini mengintip perempuan gila yang ditinggal mati suaminya diperkosa oleh dua orang polisi. Sejak lampau, orang gila diposisikan di luar masyarakat umum. Lembaga sosial pemerintah serta lembaga kesehatan (psikiatri) berkepentingan terhadap orang gila, menjadikannya sebagai objek. Rona Merah sekalipun menyandang predikat sebagai orang gila, tapi digambarkan oleh pengarang memiliki fisik/tubuh yang dapat mengundang hasrat seksual. Hal ini diakui oleh tokoh Si Tokek.
Di balik penampilannya yang berantakan, perempuan itu masih memiliki tubuh bagaikan seorang gadis. Bahkan bocah tiga belas tahun yang diam-diam mengintip dari celah rumahnya tahu hal itu. Si Tokek menggigil dan berpegangan erat pada kusen jendela.
Perempuan itu menanggalkan seluruh pakaiannya, dan berjalan ke kamar mandi. Si Tokek harus berjinjit untuk melihat perempuan itu duduk berlutut di lantai kamar mandi, di bawah air yang keluar dari kran. Rambutnya basah, wajahnya basah, tubuhnya basah.
Si bocah semakin menggigil, dan sesuatu tampaknya juga basah di balik celana pendeknya. Ia merogoh celana dalamnya, memegang kemaluannya. Hangat. Ia suka melakukannya sambil melihat Pak Kepala Desa bercinta, dan sekarang ia senang melakukannya sambil melihat Rona Merah telanjang di bawah kran air. Ia bersumpah, Rona Merah lebih menarik daripada apa pun yang bisa dilihat dari isteri Pak Kepala Desa. (hlm. 16).
Hasrat seksual lebih ditekankan pada tubuh. Dari kutipan di atas, Si Tokek lebih menikmati pemandangan tubuh telanjang Rona Merah ketimbang adegan percintaan Pak Kepala Desa dengan istrinya yang ketiga. Hal itu juga berlaku buat Ajo Kawir lewat kutipan berikut.
“Aku tak tahu ia secantik ini,” kata Ajo Kawir, berbisik.
“Kau harus memandikannya, seperti dilakukan polisi itu.”
“Aku lebih suka melihat ini daripada isteri Pak Kepala Desa.”
“Tapi buah dada isteri Pak Kepala Desa sebesar kelapa muda.”
“Yang ini lebih bagus. Tidak besar, tapi bagus.” (hlm. 26).
Orang gila dianggap dapat meresahkan kehidupan masyarakat, oleh karena itu lembaga sosial berkepentingan untuk menertibkannya. Sementara, lembaga kesehatan berkepentingan untuk normalisasi dan patologisasi perilaku. Karena diposisikan sebagai objek, orang gila dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang, terutama melalui pewacanaan normalisasi. Aparatus kepolisian yang tak jarang menggunakan tindakan represi juga berkepentingan terhadap orang gila atas wacana keamanan dan ketertiban negara. Di luar itu, alat represi negara ini juga memiliki kepentingan terhadap wacana seksualitas yang berupa aturan-aturan hukum.
Di novel ini, dengan posisi Rona Merah yang rentan sebagai orang gila, dimanfaatkan oleh dua orang polisi untuk memuaskan hasrat seksualnya. Polisi yang seharusnya menjamin keamanan terhadap tindakan kekerasan seksual, malah menggunakan kekuasaannya untuk memerkosa Rona Merah. Pemerkosaan itu disaksikan oleh kedua remaja Ajo Kawir dan Si Tokek. Malang bagi Ajo Kawir yang tertangkap basah oleh kedua polisi tersebut.
Lima menit kemudian Ajo Kawir sudah berdiri di samping meja, tempat Rona Merah masih telentang mengangkang. Si Perokok Kretek memeganginya dengan erat.
“Jadi kamu mau lihat ini, Bocah?” tanya Si Pemilik Luka.
Ajo Kawir ketakutan, menggeleng dan hendak pergi. Tapi Si Perokok Kretek mengeluarkan dan menempelkan moncong pistol ke dahi si bocah sambil berkata, “Diam dan lihat!”
… Ajo Kawir dipaksa melihat kedua polisi itu memerkosa Rona Merah bergiliran. (hlm. 28).
Memang, pada mulanya, Ajo Kawir sangat menikmati ketika menyaksikan adegan pemerkosaan tersebut dengan cara mengintip. Namun, kutipan di atas menggambarkan bagaimana mencekamnya suasana batin tokoh ketika berada di ruangan tersebut. Tindakan kedua polisi itu terhadap Ajo Kawir merupakan bentuk kekerasan seksual.
Tak puas sampai memaksa Ajo Kawir menonton, kedua polisi itu juga memaksa Ajo Kawir untuk terlibat di dalamnya. Namun, urung sebab kemaluan Ajo Kawir tak mampu berereksi.
Seolah tak sabar, akhirnya Si Pemilik Luka mencopot paksa seluruh pakaian Ajo Kawir hingga bocah itu bugil, dan mendorongnya ke arah Rona Merah yang masih telentang di meja makan. Ajo Kawir terhuyung dan berhenti tepat di depan kedua kaki Rona Merah yang terbuka lebar. Di balik rambut dan selangkangannya, Ajo Kawir melihat celah kemerahan yang berlipat-lipat.
“Masukkan!”
Ajo Kawir diam saja. Kedua polisi kesal dan hampir mengangkatnya untuk memasukkan kemaluannya secara paksa ke dalam kemaluan perempuan itu. Tapi mendadak mereka terdiam dan menoleh ke arah selangkangan Ajo Kawir. Di luar yang mereka duga, kemaluan bocah itu meringkuk kecil, mengerut dan hampir melesak ke dalam. Setelah berpandangan sejenak, kedua polisi tiba-tiba tertawa sambil menggebrak-gebrak meja. (hlm. 29).
Kekerasan seksual yang menimpa Ajo Kawir di atas menimbulkan trauma yang berkepanjangan, yakni kemaluannya mengalami malfungsi. Pelbagai macam upaya dilakukan demi menyembuhkan kemaluannya, dari yang paling konyol sampai bantuan dari Iwan Angsa, ayah Si Tokek. Semua upaya itu gagal dan sia-sia, si burung tetap memilih untuk berhibernasi. Sejak itulah, Ajo Kawir jadi gemar berkelahi tanpa takut mati. Perkelahian menjadi penyaluran hasrat seksualnya yang mampat.
3.Kekuasaan dan Seksualitas
Seks telah bergeser dari hubungan paling intim dan privat manusia, menjadi milik publik. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga sosial, mulai dari lembaga keluarga, agama, hukum, pendidikan, penerbitan dan kesehatan berkepentingan terhadap wacana seksualitas. Lembaga-lembaga itu juga ikut bertarung untuk mengaku diri sebagai ‘yang paling benar’ dalam menundukkan perilaku seks setiap individu. Dalam hal ini, kekuasaan sebagai rezim wacana dianggap mampu mengontrol individu sampai pada kenikmatan-kenikmatan yang paling intim.
Pada novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan dijelaskan Selain Ajo Kawir dan Rona Merah, tokoh lain bernama Iteung juga mengalami kekerasan seksual. Parahnya, Iteung mengalami kekerasan seksual oleh gurunya di sekolah. Lembaga pendidikan juga memiliki perhatian yang besar terhadap wacana seksualitas. Selain menjadi penjaga moral (seperti lembaga agama), lembaga pendidikan memiliki kepentingan untuk mendidik peserta didik untuk menjauhi perilaku seks.
Lembaga pendidikan menganggap seks sebagai hal yang berbahaya dan mengancam bagi anak. Untuk itu, anak perlu dibimbing dan dibina dalam melihat seks. Seksualitas dapat mengganggu masa depan anak sebagai calon tenaga produktif. Oleh sebab itu, sedapat mungkin, seks dijauhkan dari peserta didik. Bahkan, membicarakannya saja bisa mendatangkan hukuman bagi si peserta didik. Namun, hal ini tak berlaku bagi Pak Toto sebagai guru wali kelas Iteung dalam relasi guru dan siswa.
Pak Toto akan tertawa kecil dan berbisik: “Lihat, Iteung. Dadamu mulai tumbuh. Sebentar lagi kamu perlu pakai beha.”
…
“Boleh Bapak pegang, Iteung?”
“Jangan dong, Pak.”
Tapi tangan Pak Toto sudah masuk ke dalam kemeja Iteung, masuk ke kaus dalamnya. (hlm. 161).
Tak hanya sampai di situ, Pak Toto juga secara implisit memerkosa Iteung.
Celana Pak Toto sudah setengah terbuka. Kemaluannya mengacung keras. Iteung bisa merasakannya, menyodok-nyodok liar menyentuh pantatnya. Setiap kali ia mencoba menjauh, membebaskan diri, setiap kali itu pula Pak Toto menariknya, dan ujung kemaluan itu terasa kembali menyodok-nyodoknya.
“Pak.”
“Sebentar, Iteung.”
Kemudian ia merasa ada yang basah di pantatnya. Basah dan lengket. Dan Pak Toto berhenti melakukan gerakan apa pun. Tangannya berhenti. Kemaluannya juga berhenti. Dengan cepat Iteung berdiri, membebaskan diri. Ada yang basah di pantatnya, ia belum tahu apa. Ia menoleh dan melihat kemaluan hitam legam terkulai di kursi. (hlm. 162).
Kekerasan seksual yang menimpa Iteung juga menimbulkan luka dan trauma yang terus membayang-bayangi Iteung sampai dewasa. Kemudian, Iteung belajar berkelahi untuk menjaga genitalnya. Ia juga berhasil membayar dendamnya kepada Pak Toto. Pengarang dalam hal ini, sangat cermat dalam memainkan wacana seksualitas pada cerita Iteung dan Pak Toto. Pak Toto sebagai rezim kuasa pengetahuan pada lembaga pendidikan, hancur kekuasaan akan wacana seksualitasnya dengan dibuat telanjang oleh Iteung di hadapan siswa-siswanya di sekolah.
4.Disiplin dan Hukuman
Tubuh yang patuh demi produktivitas merupakan sasaran dari kekuasaan. Kekuasaan ingin membentuk individu-individu yang berdisiplin supaya produktif dalam proses produksi. Oleh sebab itu, normalisasi dan pendisiplinan menjadi bagian dari strategi kekuasaan dan kebenaran.
Dalam novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan dijelaskan di luar seksualitas, kekuasaan juga tercermin pada penggalan-penggalan kisah yang ditampilkan novel ini. Misalnya tentang pembunuhan Agus Klobot yang erat kaitan dengan pembasmian preman dan berandalan oleh alat represif negara (hlm. 14). Kontes judi adu jotos yang diselenggarakan oleh tentara dengan menggunakan para tahanan pemberontak Aceh, Maluku, Papua, dan komunis sebagai petarung (hlm. 183). Atau, misalnya Paman Gembul yang menawari pekerjaan membunuh seorang aktivis buruh perempuan yang menjadi ancaman kekuasaan negara (hlm. 211). Kisah-kisah tersebut merupakan cerminan kekuasaan yang dijatuhkan oleh penguasa kepada siapa saja yang telah melanggar atau melawan penguasa sebagai bentuk hukuman yang diberikan oleh penguasa. Foucault beranggapan bahwa di era monarkial tiap proses penghukuman kriminal baru dianggap serius apabila telah melibatkan elemen penyikasaan tubuh dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol.
KESIMPULAN
Konsep pemikiran Michel Foucault yang paling utama yaitu konsep tentang kekuasaan. pada umumya mengangkat masalah mengenai kekuasaan. Kuasa yang menjadi konsep pemikiran Michel Foucault itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara berbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi.
Pemikiran Foucault dipengaruhi Nietzsche, namun dia tidak sepenuhnya sebagai pengikut Nietzsche, sebab baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal, begitu pun dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya. Foucault dikemudian hari mengembangkan metode genealogi Nietzsche, dengan melihat kaitan antara makna atau pemahaman sesuatu dengan kekuasaan yang membenarkan.
Pemikiran Michel Foucault tentang konsep kekuasaan tercermin dalam karya sastra yaitu pada novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. Pada novel tersebut aspek utama yang mempengaruhi adanya kekuasaan ialah aspek pemenuhan kebutuhan seksualitas. Namun, ada juga cerita lain seperti dampak yang ditimbulkan bagi seseorang yang melanggar kuasa yaitu adanya hukuman dan kedisiplinan. Pemikiran keseluruhan Michel Foucault tentang konsep kekuasaan yang tercermin dalam novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan yaitu: kekuasaan dan Ilmu Pengetahuan, kegilaan dan peradaban, kekuasaan dan seksualitas, dan disiplin dan hukuman
DAFTAR PUSTAKA
Susilawati. 2016. Michel Foucault dan Pemikirannya. (online).
http://trainingictsusilawati.blogspot.com/2016/04/miche-foucault-dan-teorinya.html. Diakses pada tanggal 14 September 2018.
Dedi Arif Setiawan. 2015. Tentang Michael Foucault, Anti Strukturalisme.
http://blog.unnes.ac.id/dedijongjava/2015/11/27/tentang-michael-foucault-anti-strukturalisme/. Diakses Pada tanggal 14 September 2018.
Kurniawan, Eka. 2014. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Widianto, Stanley. 2017. ‘Hampir Semua Novelku Berbicara Soal Kekuasaan’: Obrolan
Bersama Eka Kurniawan. (Online) https://www.vice.com/id_id/article/9kqxne/hampir-semua-novelku-berbicara-soal-kekuasaan-obrolan-bersama-eka-kurniawan. Diakses pada tanggal 14 September 2018.
Martono, Nanang.2014.Sosiologi Pendidikan Michelfoucault.Jakarta:Rajawali
Pers.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Hits: 1