A.   Pendahuluan

Dalam mengkaji dan atau membicarakan karya sastra baik novel maupun cerpen terdapat dua macam pembaca yaitu pembaca ahli dan pembaca awam. Dari hasil pengamatan, masih sedikit orang yang melakukan penelitian terhadap pembaca karya sastra karena semua terfokus pada teks yang terdapat pada novel dan cerpen. Dalam resepsi sastra, peranan pembaca yang sama sekali tidak tahu tentang proses kreativitas memegang peranan penting dalam penelitian, karena pembacalah yang menikmati, menilai, dan memanfaatkan karya sastra, bahkan penulis yang mengetahui seluk-beluk karyanya tidak dianggap keberadaanya.

Penelitian resepsi berarti penelitian tentang penerimaan atau penikmatan karya sastra oleh pembaca (Endraswara 2008: 118). Penelitian resepsi, meneliti teks sastra dengan bertitik tolak terhadap pembaca sebagai pemberi reaksi terhadap teks tersebut. Pertemuan antara pembaca dan teks sastra menyebabkan terjadinya proses penafsiran atas teks oleh pembaca sebagai objekif, yang hasilnya adalah pengakuan makna teks (Nuryatin, 1998: 135).

Dalam menanggapi karya sastra, pembaca selalu membentuk unsur estetik melalui pertemuan antara horizon harapan, bentuk teks, dan norma-norma sastra yang berlaku. Pembaca selaku pemberi makna akan senantiasa ditentukan oleh ruang, waktu, golongan sosial budaya dan pengalamannya (Jauss dalam Nuryatin 1998: 133). Hal ini karena dalam meresepsi sebuah karya sastra, pembaca bukan hanya memberi makna tunggal tetapi juga makna lain yang akan memperkaya karya sastra.

Sebenarnya istilah resepsi sastra atau disebut juga estetika resepsi sudah tidak asing lagi bagi telinga pengamat sastra Indonesia. Apalagi sejak tahun 80-an relah terbit dua buah buku penting yang membicarakan masalah ini terutama dari A. Teeuw (1984) dan Umar Junus (1985). Adanya tanggapan pembaca terhadap karya sastra sesungguhnya juga sudah berlangsung lama dalam kehidupan sastra baik lisan maupun tertulis.

Pengamat sastra pun menyadari akan fungsi komunikasi sastra. Mukarovsky, misalnya, sejak tahun 80-an telah membicarakan hal ini dalam sistem semiotiknya. Dikatakannya, karya sastra sebagai sistem tanda dibedakan dalam dua aspek, ialah penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Penanda merupakan artefak, struktur mati, petandalah yang menghubungkan artefak itu ke dalam kesadaran penyambut menjadi objek estetik (Fokkema, 1977: 81). Dengan kata lain, karya sastra tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dan konteks sosial.

Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam bentuk karya yaitu yang disebut karya sastra. Sastra boleh juga disebut karya seni karena didalamnya mengandung keindahan atau estetika. Sedangkan ilmu sastra adalah ilmu yang menyelediki karya sastra secara ilmiah atau bisa disebut bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra.

Dalam ilmu satra terdapat disiplin ilmu yaitu teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Tiga disiplin ilmu tersebut merupakan merupakan pilar utama yang tidak dapat dipisahkan dalam ilmu sastra. Ketiga bidang tersebut saling membutuhkan dan saling melengkapi untuk menggali kedalaman sastra. Seperti halnya Kritik sastra yang memiliki peran besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, teori resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra.

Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan makna terbadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif. Yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika, yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Karena itu, pengertian resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan.

Dengan resepsi sastra terjadi suatu perubahan besar dalam penelitian sastra, yang berbeda dari kecenderungan yang biasa selama ini. Selama ini tekanan diberikan kepada teks, dan untuk kepentingan teks ini, biasanya untuk pemahaman seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (Junus, 1985: 1).

Sungguh menarik perkembangan teori dari Jauss dan Iser yang menyempurnakan suatu lingkaran dari perkembangan penelitian sastra. Penelitian itu bermula dengan pementingan penulis. Keterangan tentang arti suatu karya ditanyakan kepada penulisnya. Dan bila ini tak dapat dilakukan lagi, ia dapat dicari pada riwayat hidup penulisnya. Kemudian dikembangkan penelitian lain yang melihat karya sebagai suatu yang berdiri sendiri, yang mempunyai maknanya sendiri, dan ini dapat ditemui melalui analisa karya itu sendiri. Dari sini berkembang resepsi sastra yang memang melihat adanya skema yang diberikan oleh suatu karya untuk dapat memahaminya. Tetapi untuk menemumya, pembaca mesti menggunakan imajinasinya sendiri, sehingga ia bertindak sebagai pemberi arti (Junus, 1985:  143-144).

.

B.   Teori Resepsi Sastra

1.    Sejarah Perkembangan Teori Resepsi Sastra

Atensi terhadap studi resepsi awalnya muncul sebagai reaksi melawan kecenderungan terhadap penolakan peran pembaca dalam memaknai sebuah karya sastra. Pergeseran minat dari struktur ke arah tanggapan pembaca dapat dilihat di berbagai tempat dan dari latar belakang yang berbeda-beda. Di sini pertama-tama dibahas perkembangan dalam strukturalisme Praha, dengan nama seperti Mukarovsky dan Vodicka.

Teori Mukarovsky terhadap karya sastra berpangkal pada aliran formalis sebagai usaha untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi puitik bahasa. Maka oleh Mukarovsky dipertahankan pendirian, karya sastra dalam sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-budaya serta kode-kode atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Tetapi dalam perkembangan ide Mukarovsky terjadi pergeseran terhadap konsep fungsi tersebut.

Perkembangan pikiran Mukarovsky ini cukup berat konsekuensinya: pembaca sebagai subyek tak kurang pentingnya dalam fungsi semiotik karya sastra daripada strukturnya. Dalam ceramah yang diberikan pada tahun 1942 Mukarovsky menguraikan sekali lagi pendapatnya mengenai hubungan antara struktur karya sastra dan peranan pembaca.

Dalam pendekatan Mukarovsky ini pengalaman estetik justru ditentukan oleh tegangan antara struktur karya sastra sebagai tanda dan subyektivitas yang tergantung pada lingkungan sosial dan kedudukan sejarah penanggap. Demikianlah Mukarovsky meletakkan dasar untuk estetik sastra dalam model semiotik di mana ada hubungan dinamik dan tegangan yang terus-menerus antara keempat faktor: pencipta, karya, pembaca serta kenyataan.

Ide-ide Mukarovsky digarap lebih lanjut dan dikonkritkan oleh muridnya Felix Vodicka. Konsep yang sangat penting dalam teori Vodicka ialah konkretisasi. Konsep ini sesungguhnya berasal dari seorang ahli sastra Polandia Roman Ingarden. Ingarden mengemukakan pendapat bahwa karya sastra mempunyai struktur yang objektif, yang tidak terikat pada tanggapan pembaca, dan yang nilai estetiknya pun tidak tergantung pada norma-norma estetik pembaca yang terikat pada masanya. Di sini Vodicka berselisih paham dengan Ingarden: bagi dia kebebasan pembaca jauh lebih besar, tidak hanya secara konkrit dan faktual. Tetapi pula secara prinsip. Vodicka berpangkal pada pertentangan karya seni sebagai artefak dan sebagai objek estetik, yang telah dikembangkan oleh Mukarovsky.

Karya seni sebagai artefak baru menjelma menjadi objek estetik oleh aktivitas pembaca, dan sebagai tanda makna dan nilai estetik karya seni baru dapat ditentukan berdasarkan konvensi kesastraan yang konkrit pada masa tertentu. Peneliti sastra tidak cukup mengupas karya sastra secara otonom, dia harus meneliti konteks pemberian makna oleh pembaca tertentu, konteks kesastraan yang pada gilirannya berkaitan dengan konteks sosial dalam arti yang luas. Konteks itulah yang menyediakan rangka untuk resepsi dan untuk produksi. Vodicka dalam segi ini mempertahankan pendirian bahwa seni menunjukkan perkembangan intrinsik yang berkaitan dengan perkembangan sosio-politik, tetapi tidak ditentukan secara mutlak olehnya, pengaruh itu adalah pengaruh timbal balik. Tidaklah mengherankan Vodicka menitikberatkan sejarah sastra sebagai pendekatan sastra yang tak terhindari.

Namun, perkembangan dalam teori respesi sastra yang sistematik baru dilakukan di akhir bagian tahun 60-an di Jerman Barat terutama melalui dua nama, Hans Robert Jausz dan Wolfgang Isser. Dan pendekatan ini baru mendapat perhatian yang meluas dunia pada bagian akhir 70an. Pengembangan yang cenderung lambat ini dapat diakibatkan oleh kendala bahasa. Karena pada awalnya, pemikiran mengenai resepsi sastra ditulis dalam bahasa Jerman, bahasa yang lebih terbatas penyebarannya itu dibandingkan dengan bahasa Inggris pada waktu itu (Junus: 1984:vii). Lagipula, pada saat itu teori yang mereka kembangan bertolak belakang dengan kebiasaan yang ada. Orang-orang masih belum dapat menerima sepenuhnya proses melibatkan pembaca dalam suatu karya sastra karena menurut mereka pada saat itu pemberi makna adalah penulis. Lompatan yang sangat jauh ini juga merupakan salah satu faktor lambatnya penyebaran teori ini.

Hans Robert Jausz (1921-1997) merupakan salah satu pemikir yang memiliki kontribusi besar terhadap lahirnya teori resepsi sastra. Pada waktu itu, idenya dianggap sebagai ide yang menggegerkan ilmu sastra tradisional di Jerman Barat pada saat itu (Teeuw, 1988:183) Essainya yang berjudul The Change in the Paradigm of Literary Scholarship atau Perubahan Paradigma dalam Ilmu Sastra menunjukkan adanya kemunculan perspektif baru dalam kajian ilmu sastra yang menekankan pentingnya peran interpretasi dari pembaca (Holub, 1984: xii). Teori yang dilahirkan oleh Jauss menitikberatkan pandangannya pada pembaca sebagai konsumen dan menganggap bahwa karya sastra merupakan suatu proses dialektika yang terlahir dari produksi dan resepsi (Holub, 1984: 57).

Walaupun pada prinsipnya penelitian hubungan antara teks dan pembaca dapat dikatakan termasuk esensi ilmu sastra, namun hal ini tidak berarti bahwa secara metodik dan teknik penelitian resepsi jelas dan tidak menerbitkan masalah lagi. Sudah ada dua pendekatan utama yang memang berkaitan tetapi tidak identik, adalah sejarah efek teks sastra dilihat dari segi karya sastra itu sendiri. Tokoh penting dalam mazhab ini adalah Wolfgang Iser. Iser terutama menyumbangkan teori mengenai yang disebut Leerstellen, tempat kosong serta fungsinya dalam pemberian makna oleh pembaca. Tempat kosong mengaktifkan daya cipta pembaca dan sekaligus menciptakan yang disebut innerperspective, perspektif dalam bagi sebuah teks.

Jausz tidak mulai dari struktur teks dan dari potensi karya sastra, melainkan konkretisasi yang nyata menjadi fokus penelitian bagi dia. Pada prinsipnya Jausz membedakan tiga kemungkinan: sastra dapat berlaku afirmatif-normatif, yaitu menetapkan dan memperkuat struktur, norma dan nilai masyarakat yang ada atau restoratif, yaitu mempertahankan norma-norma dalam kenyataan kemasyarakatan telah meluntur atau menghilang, tidak berlaku lagi ataupun kemungkinan ketiga, sastra bersifat inovatif dan revolusioner, merombak nilai-nilai yang mapan, memberontak terhadap norma establishment kemasyarakatan.

Menurut Jausz para peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, melupakan atau menghilangkan faktor yang terpenting dalam proses semiotik yang disebut kesusastraan, yaitu pembaca. Justru pembacalah yang merupakan faktor yang hakiki dan menentukan dalam sastra. Kesejarahan sasra bersama dengan sifat komunikasinya mengandaikan hubungan dialog dan sekaligus hubungan proses antara karya, sidang pembaca, dan karya baru. Pembaca yang menilai, menikmati, menafsirkan, memahami karya sastra menentukan nasibnya dan peranannya dari segi sejarah dan estetik.

Setiap pembaca mempunyai horison harapan, yang tercipta karena pembacaannya yang lebih dahulu, pengalamnnya selaku manusia budaya, dan seterusnya. Fungsi efek, nilai sebuah karya sastra untuk pembaca tertentu tergantung pada relasi struktur, ciri-ciri dan anasir-anasir karya itu dengan horison harapan pembaca. Pembaca, khususnya pembaca modern dalam kebudayaan Barat, ingin dan berharap agar dia terkejut, digoncangkan oleh hal-hal yang baru, yang memecahkan atau menggeserkan horison harapannya. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca karya sastra mendapat makna dan fungsi, dan pembaca mau tak mau bertempat dalam rangka sejarah tertentu.

.

2.   Konsep Dasar Sastra

Sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlkangsung untuk sementara waktu saja (Luxemburg, 1989: 9). Menurut Teeuw (1988: 23),

……
Kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.

Dalam defenisi sastra, karya sastra itu karya yang bersifat imaginatif, yaitu bahwa karya sastra itu terjadi akibat kekuatan imajinasi manusia hingga tercipta suatu dunia baru yang sebelumnya belum ada. Menurut Pradopo (1994: 59), karya sastra adalah karya seni, yaitu suatu karya yang menghendaki kreativitas. Jadi, sastra adalah satu wujud kreatifitas manusia yang tergolong konvensi-konvensi yang berlalu bagi wujud ciptaannya dapat menjadi kaidah. Namun, keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat, bahkan keunikan suatu ciptaan sastra, membuat sastra memiliki sifat-sifat yang khusus.

Karya Sastra adalah alat bagi manusia untuk menemukan seluk beluk eksistensinya dalam kehidupan. Sebuah karya sastra memberi kemungkinan yang terbaik bagi manusia sebagai homo-significan, pemberi makna. Sebab itu sastra selalu berhubungan dengan mengajar (docene), memberi hikmah (delectere), dan menggerakkan (movere) (Teeuw, 1988: 71).

Selain manfaat tersebut, karya sastra ialah karya tulis yang jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan yang sangat dominan seperti keorisinilan dan keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapan. Sastra terdiri atas 3 jenis, yaitu:  (1) puisi, (2) prosa, dan (3) drama. Prosa ialah jenis sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Jenis yang termasuk ke dalam karya sastra prosa, antara lain, (1) cerita pendek (cerpen), (2) novel, dan (3) roman.

Di antara genre sastra, yaitu:  puisi, prosa, dan drama, genre prosa khususnya novel yang di anggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial dan banyak digunakan sastrawan sebagai wadahnya untuk lebih bebas mengekspresikan kehidupan sosial suatu masyarakat dan lebih luas menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan. Ini disebabkan karena novel menawarkan dunia yang padu. Novel merupakan dunia dalam skala lebih besar dan kompleks, mencakup berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual, namun semuanya tetap saling terjalin. Sementara itu, sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak lepas dari tata masyarakat dan kebudayaan. Semua itu sangat berpengaruh dalam karya sastranya ataupun tercermin dalam karya sastranya.

.

3.   Pengertian Resepsi Sastra

Dalam kritik sastra dikenal beberapa pendekatan-pendekatan untuk melakukan penelitian karya sastra. Pendekatan-pendekatan itu adalah pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan historis, pendekatan antropologis, pendekatan ekspresif, pendekatan mimesis, pendekatan pragmatis, dan pendekatan objektif. Selanjutnya, Ratna (2008: 71) mengemukakan bahwa pendekatan pragmatislah yang memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini berhubungan dengan salah satu teori modern yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra.

Menurut pendekatan resepsi sastra, suatu teks baru punya makna bila ia sudah punya hubungan dengan pembaca. Teks memerlukan adanya kesan yang tidak mungkin ada tanpa pembaca (Junus, 1985: 104). Resepsi sastra memiliki kaitan dengan sosiologi sastra karena keduanya memanfaatkan masyarakat pembaca. Menurut Ratna (2009: 168), kaitan resepsi sastra dengan sosiologi sastra terjadi dengan masyarakat biasa, dengan pembaca konkret, bukan dengan masyarakat yang terkandung dalam karya sastra (intrinsik).

Kritik sastra memiliki peran yang besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra. Kritik sastra sendiri berasal dari bahasa Yunani krites yang berarti hakim. Kata benda krites berasal dari kata kerja krinein yang berarti menghakimi. Kata krinein merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar penghakiman. Lalu timbul kata kritikos yang berarti hakim karya sastra (Maslikatin, 2007: 1).

Luxemburg, dkk. (1984: 62) membedakan antara resepsi dengan pemafsiran. Ciri-ciri penerimaan adalah reaksi, baik langsung maupun tidak langsung. Penafsiran bersifat lebih teoritis dan sistematis, oleh karena itu, termasuk bidang kritik sastra. Meskipun demikian, resepsi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam teori kontemporer tidak terbatas sebagai reaksi, tetapi sudah disertai dengan penafsiran, dan bahkan penafsiran yang sangat rinci.

Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, a) resepsi secara sinkronis, dan b) resepsi secara diakronis. Bentuk pertama meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman. Sekelompok pembaca, misalnya, memberikan tanggapan, baik secara sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah novel. Bentuk resepsi yang lebih rumit adalah tanggapan pembaca secara diakronis sebab melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Penelitian resepsi secara diakronis dengan demikian memerlukan data dokumenter yang memadai.

Peranan pembaca, seperti disebutkan di muka benar-benar merupakan pembalikan paradigma secara total, pembaca yang sama sekali tidah tahu menahu tentang proses kreatif diberikan fungsi utama, sebab pembacalah yang menikmati, menilai, dan memanfaatkannya, sebaliknya penulis sebagai asal usul karya harus terpinggirkan, bahkan dianggap sebagai amonimitas. Oleh karena itulah, dalam kaitannya dengan pembaca, berbeda dengan penulis, timbul berbagai istilah, seperti: pembaca eksplisit, pembaca implisit, pembaca mahatahu, dan sebagainya. Pembaca implisit atau pembaca yang sebetulnya disapa oleh pengarang ialah gambaran mengenai pembaca yang merupakan sasaran si pengarang dan yang terwujud oleh segala petunjuk yang kita dapat dalam teks. Pembaca eksplisit adalah pembaca kepada siapa suatu teks diucapkan.

Metode pendekatan resepsi sastra mendasarkan diri bahwa karya itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss, apresiasi pembaca pertama terhadap karya sastra akan dilanjutkan dan diperkara melalui tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi (Pradopo, 2003: 185). Metode penelitian resepsi dapat dirumuskan ke dalam tiga pendekatan, yakni (1) pendekatan resepsi sastra secara eksperimental; (2) penelitian resepsi sastra melalui kritik sastra; (3) penelitian resepsi sastra secara intertekstual.

Pendekatan eksperimental mencakup beberapa langkah, yaitu (1) teks tertentu disajikan kepada pembaca tertentu baik secara individual maupun secara berkelompok agar mereka memberi tanggapan; (2) pembaca diberikan daftar pertanyaan tertentu terkait dengan pandangannya terhadap teks yang dibaca; (3) kemudian tanggapan pembaca dianalisis dari segi tertentu secara struktural.

Selanjutnya, penelitian resepsi lewat kritik sastra, pendekatan ini secara khusus diajukan oleh Vodicka yang tertarik pada sastra Ceko modern (sejak 1900). Vodicka mementingkan peranan pengkritik selaku penanggap utama dan khas: dialah yang menetapkan konkretisasi karya sastra dan dialah yang mewujudkan penempatan dan penilaian karya itu dalam masanya. Menurut Vodicka, peneliti harus sadar bahwa yang penting dalam kritik sastra bukanlah tanggapan seorang individu; peneliti sastra yang baik mau mewakili norma sastra yang terikat pada masa tertentu dan atau golongan masyarakat tertentu.

Pendekatan intertekstual dapat dilakukan dengan beberapa langkah: (1) penyalinan, penyaduran, penerjemahan; (2) pembacaan berulang-ulang (3) membandingkan; dan menilai teks-teks yang berbeda dengan teks lainnya; (4) memberi makna pada teks-teks yang berbeda. Penelitian skripsi resepsi pembaca terhadap cerpen Remon karya Kajii Motojiro menggunakan pendekatan eksperimental karena peneliti memberikan teks cerpen, lalu memberikan pertanyaan melalui kuesioner untuk dijawab oleh responden, dan terakhir tanggapan atau jawabannya di analisis oleh peneliti.

Ratna (2008: 165) mengemukakan secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (2003: 206) bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.

Dalam arti sempit, istilah ini sinonim dengan Konstanz yang meneruskan penelitian fenomenologi (Ingarden), strukturalisme praha (Mukarovsky) serta hermeneutika (Gadamer).Dalam kelompok ini sendiri masih dapat dua aliran yang berbeda yaitu sejarah resepsi (Jauss) dan estetika resepsi (Wirkhrugs, Iser). Selanjutnya, Endraswara (2008: 118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang menfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut.

.

4.   Dasar-dasar Teori Resepsi Sastra

Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon atau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2003: 207).

Cakrawala ini sebagai konsep awal yang dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia membaca sebuah karya sastra. Harapan itu adalah karya sastra yang dibacanya sejalan dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara seorang pembaca dengan pembaca lain tentu akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra.

Teori resepsi antara lain dikembangkan oleh RT. Segers dalam bukunya Receptie Esthetika yang terbit tahun 1978. Di dalam pengantarnya ia menulis: Aan het eind van de jaren zestig werd in weat Duitsland de receptie esthetika geintroduceerd (Segers, 1978: 9). Ini berarti bahwa resepsi esthetika telah diperkenalkan di Jerman Barat pada akhir tahun 60-an. la menunjuk artikel Roman Jacobson: Linguisties and Poeties tahun 1960 yang berisi sebuah model komunikasi.

Pada penerbitan yang terdahulu D.W. Fokkema dkk pada tahun 1977 menyajikan The Rezeption of Literature: Theory and Practice of Rezeptionns aesthetik dalam bab 5 bukunya yang berjudul The ories of Literature in The Twentieth Century. Di dalam bab 5 mereka mengutip pendapat Lotman (1972) yang menyatakan:  Infact, the literary work consist of the text (the system of intra-textual relations) in its relation to extra-textual reality: 10literary norms, tradition and the imagination. Selanjutnya ia mengutip pendapat Siegfried J. Schmidt (1973) bahwa, Reception (therefore) occurs as a process creating meaning, which realizes the instructions given in the linguistic appearance of the text (Fokkema, 1977: 137).

Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi estetika yang diletakkan oleh Hans Robert ]auss dan Wolfgang Iser. Ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca, yaitu:

1) norma-norma genre terkenal teks yang diresepsi

2) relasi implisit dengan teks yang telah dikenal dari periode sejarah sastra yang sama,

3) kontradiksi flksi dengan kenyataan.

Ada tiga macam pembaca:

1) Pembaca sesungguhnya

2) Pembaca implisit

3) Pembaca eksplisit (]auss, 1970).

Menurut Segers (1975) pembaca sesungguhnya termasuk kategori yang paling mendapat perhatian, termasuk dalam teori estetika. Menurut Iser (1973) pembaca implisit adalah peranan bacaan yang terletak di dalam teks itu sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual bagi pembaca sebenarnya. Jadi pembaca implisit imanen di dalam teks yang diberikan. Menurut Grimm (1975) pembaca eksplisit dapat disebut juga pembaca fiktif, imajiner, atau imanen. R. T. Segers mengemukakan tentang pembaca dan teks, bagan proses komunikasi G. de Vriend dan Wolfgang lser mengutarakan teks fisional. H van den Berg menyajikan pendekatan karya estetis problem genre. T. Anbeek mengutarakan resepsi estetika dan resepsi sejarah. Di dalam penerapan disajikan pertanyaan J.J. Kloek: Mungkinkah resepsi sejarah itu?

D.W. Fokkema di dalam bab 5 Theories of Literature in the Twentieth Century mengutarakan diskusi teoretis, studi resepsi historis, studi resepsi empiris, pembaca implisit dan pendekatan sosial politik. H.V. Gumbrecht di dalam Charles Grievel (1978) menyajikan resepsi estetika dan tindakan teoretis ilmu sastra. Props di dalam Evan der starre dick (1978) membicarakan paradigma dan resepsi nasionaI.

Pada tahun 1980 Rien T. Segers mengembangkan teori resepsinya dengan judul Het Lazen van literature sebuah pengantar pendekatan sastra secara baru. Ia merumuskan teorinya dalam lima bab yaitu: 1) prinsip-prinsip resepsi estetika, 2) perkembangan lebih lanjut di dalam resepsi estetika, 3) konsekuensi pendapat sastra resepsi estetika, 4) penjelasan penelitian resepsi estetika, 5) masa depan resepsi estetika.

Di dalam prinsip ini dikemukakan pergeseran tekanan dalam studi sastra, dari pengarang melalui teks ke arab pembaca, dua buah pengertian pusat yakni cakrawala harapan dan tempat terbuka, penafsiran dan tempat terbuka, penafsiran dan evaluasi, resepsi historis dan keJja penelitian. Di dalam konsekuensi diutarakan perhatian terhadap pembaca teks dan pengarang, semiotik sosiologi sastra dan psikologi sastra.

Di dalam penjelasan dikemukakan resepsi sejarah, sinkronis clan diakronis, penelitian cakrawala harapan, pertimbangan nilai pembaca tentang sastra modem dan kader pengajaran sastra. Di masa depan dibicarakan penyelesaian teori resepsi, perkembangan lebih lanjut penelitian praktis, kemungkinan penerapan resepsi estetika, implikasi pendidikan sastra dan ke arah organisasi pengajaran dan penelitian.

Pada tahun 1982 Hans Robert Jauss mengemukakan sisi pengalaman estetis di dalam bukunya Aesthetic Experiellce and literary Hermeneuties. Pada tahun 1984 A. Teeuw di dalam bukunya yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra membicarakan teori resepsi Mukarovsky, Vodicka, Jauss, dan Madame Bovary. Dibicarakan pula masalah estetik dalam iImu sastra, penerapan metode penelitian resepsi sastra, penelitian resepsi lewat kritik sastra dan pendekatan lain terhadap penelitian resepsi, intertekstual, penyadaran dan penerjemahan.

Pada tahun 1984 karya Ian van Luxemburg dkk diterjemahkan Dick Hartoko dengan judul Pengantar I1mu Sastra. Di dalam buku tersebut dibicarakan penafsiran dalam ilmu sastra, resepsi dan penafsiran, estetika pembaca, pengertian mengenai resepsi, dan sejarah resepsi. Pada tahun 1985 Umar Junus menulis buku Resepsi sastra. Di dalam buku itu dibicarakan penulis dan karya, resepsi sastra, resepsi sastra dan pendekatan-pendekatan lain, resepsi sastra: Latar belakang teori dan kemungkinan penggunaannya, problematik dan kritik.

Selanjutnya, Pradopo (2008: 208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang mengharuskan para pembaca mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan dalam teks tersebut. Pengisian tempat terbuka ini dilakukan melalui proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca. Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan sempurna dalam mengisi tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.

Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani, 2001: 253).

Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca (Rahmawati, 2008: 22). Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu.

Menurut Pradopo (2007: 218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo 2003: 207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.

Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.

Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.

Metode resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya (Pradopo 2003: 209). Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya.

Pradopo (2003: 210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.

Menurut Ratna (2009: 167-168), resepsi sinkronis merupakan penelitian resepsi sastra yang berhubungan dengan pembaca sezaman. Dalam hal ini, sekelompok pembaca dalam satu kurun waktu yang sama, memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra secara psikologis maupun sosiologis. Resepsi diakronis merupakan bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan dan memadai.

……
Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya terdapat norma-norma yang sama dalam memahami karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan horizon harapan pada setiap pembaca, maka pembaca akan menanggapi sebuah karya sastra dengan cara yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan, pengalaman, bahkan ideologi dari pembaca itu sendiri (Pradopo, 2003: 211).

Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berada dalam satu kurun waktu. Penelitian ini dapat menggunakan tanggapan pembaca yang berupa artikel, penelitian, ataupun dengan mengedarkan angket-angket penelitian pada pembaca.

Resepsi diakronis umumnya menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis ini mempunyai kelebihan dalam menunjukkan nilai senia sebuah karya sastra, sepanjang waktu yang telah dialuinya (Pradopo, 2003: 211). Proses kerja penelitian resepsi sastra secara sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua langkah sebagai berikut.

a. Setiap pembaca baik perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan sebuah karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Jawaban yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk pertanyaan yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan metode wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif.

b. Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil interpretasi pembaca ini dianalisis menggunakan metode kualitatif (Endraswara, 2008: 126) .

Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi, digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti (Endraswara, 2008: 127). Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001: 119), penelitian resepsi secara sinkronis dan diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian resepsi sastra, Abdullah membagi tiga pendekatan, yaitu (1) penelitian resepsi sastra secara eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat kritik sastra, dan (3) penelitian resepsi intertekstualitas. Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik sastra saja.

Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke dalam peneitian sinkronis, karena dalam penelitian eksperimental ini mengunakan subjek penelitian yang berada dalam satu kurun waktu. Sedangkan penelitian dengan pendekatan yang ketiga, yaitu melalui intertekstualitas, dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis. Karena dapat diteliti hasil konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada setiap periodenya. Tetapi penelitian ini dapat digunakan pada teks sastra yang memiliki hubungan intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan penelitian.

.

5.   Teori Resepsi Sastra Jauss

Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.

Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya. (Jauss 1983: 21).

Teori sastra respon pembaca sering juga dikenal dengan istilah teori resepsi sastra, teori ini memusatkan perhatian pada hubungan antar teks sastra dan pembaca, teori ini juga menjadi landasan konseptual kritik sastra atau penelitian sastra yang secara khusus ingin melihat relasi pembaca dan teks sastra, kritik sastra yang berlandaskan pada teori ini adalah kritik respon pembaca (reader-response criticism). Kritik ini menyatakan bahwa makna karya sastra adalah interpretasi yang diciptakan atau dikonstruksikan/ dihasilkan oleh pembaca dan penulis sebagai subjek kolektif. Ia memberikan tindakan perhatiaan pada tindakan kreatif pembaca dalam memasukan makna kedalam teks sastra.

Kritik ini menganggap bahwa orang yang berbeda repertoa/gudang bacaan seorang subjek pembaca akan menafsirkan teks karya sastra secara berbeda, tergantung dari presfektif mana ia melihat dan sejauh mana kadar repertoa pembaca dalam memahami teks karya sastra tersebut. Sebagai konsikuensi logis pluralitas dan kompleksitas pemberiaan makna terhadap interpretasi teks tadi merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu teori ini menyatakan tidak ada pembacaan atau intrepretasi tunggal ataupun yang paling benar, akan tetapi yang paling optimal. Karya sastra itu ada jika ia dapat mempengaruhi pembaca, baik itu berupa tindakan-tindakan yang sifatnya aktif, maupun sebuah penilaiaan terhadap teks karya tersebut.

Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.

Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama dalam teori resepsi adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai kekuatan pembentuk sejarah. Dalam pandangan Jauss (1983: 12) suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu yang diharapkan.

Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa karya sastra sejak awal kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Apresiasi pembaca pertama terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tanggapan-tanggapan dari pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14).

Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan karena adanya perbedaan horizon harapan dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya.

Pradopo (2003: 210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.

Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.

Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut Segers (dalam Pradopo 2003: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan.

Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra, (2) pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca karya sastra, (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya, dan (4) sidang pembaca bayangan.

Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon harapan pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru yang mendominasi.

Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika, melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama, (2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca, (3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan sastra pembaca, (4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya mempertanyakan teks, dan (5) siatuasi penerimaan seorang pembaca.

Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari pengetahuan tentang kehidupan.

Pendekatan teori respsi sastra Jauss menekankan aspek penerimaan dalam hal ini bagaimana seorang penulis kreatif dalam menerima karya sebelumnya, yang memungkinkan ia dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya, atau bagaimana seorang bukan penulis kreatif menerima suatu karya sehingga karya itu bermakna tertentu bagi dirinya. Pada intinya memusatkan kepada keaktifan pembaca kepada kesanggupan mereka dalam menggunakan imajinasi dalam proses pembacaan. Jauss memahami karya sastra dapat terlihat dari pernyataan mereka. Pernyataan ini mungkin saja berupa komentar-komentar atau berupa karangan lain yang mentransformasikan atau mendemistifikasikan karangan yang pernah dibacanya. Pendekatan Jauss ini memberikan kerangka bagi perkembangan sastra karena pendekatannya mengembangkan perhatiaan pada aktivitas pembaca, bukan sebatas kesan seperti yang diasumsikan oleh Iser.

.

6.   Teori Resepsi Sastra Iser

Wolfgang Iser (1926-2007) adalah salah seorang pakar ilmu-ilmu sastra berke­bangsaan Jerman yang terke­nal dengan teori respons pembaca (reader-response theo­ry). Kritik Iser terhadap teori sastra adalah selama ini yang menjadi pusat perhatian sastra adalah maksud penulis, makna sosial, psikologi, kon­temporerisme, pengertian historis teks, atau cara dima­na teks dibangun, namun jarang terjadi kritik yang menyatakan bahwa teks hanya dapat memberikan arti ketika teks itu dibaca. Hemat Iser, inti pembacaan setiap karya sastra adalah interaksi antara strukturnya dan penerimanya. Itulah mengapa teori feno­menologi seni telah menarik perhatian bahwa kajian terha­dap karya sastra tidak hanya menyangkut teks yang sesung­guhnya, tetapi juga tindakan-tindakan yang terkait dalam menanggapi teks itu.

Teks dengan sendirinya hanya menawarkan aspek skematis, yaitu pokok perso­alan dari karya itu dapat dihasilkan, sementara produk­si yang sesungguhnya terjadi melalui tindakan konkretisasi. Oleh sebab itu, dapat dika­takan bahwa karya sastra memiliki dua buah kutub yang disebut kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah teks penulis, dan kutub estetik adalah realisasi yang disempurnakan oleh pembaca.

Dari sudut pandang polaritas ini jelas bahwa karya itu sendiri tidak dapat diiden­tikkan dengan teks atau dengan konkretisasi, tetapi karya harus disituasikan di antara keduanya. Dalam karya sastra, pesan disampaikan melalui dua cara: pertama, pembaca menerima pesan, kedua, pembaca menyusun pesan itu. Dengan asumsi ini peneliiti harus mencari struktur yang memungkinkannya men­jelaskan kondisi dasar inte­raksi, karena hanya dengan cara itu, peneliti akan mampu mendapatkan pandangan ten­tang pengaruh potensial yang menyatu dalam karya itu.

Secara praktis setiap struk­tur yang dapat dilihat dalam fiksi memiliki dua sisi, yaitu sisi verbal dan sisi afektif. Sisi verbal membimbing reaksi dan mencegahnya dari reaksi yang sembarangan. Adapun sisi afektif adalah pemenuhan yang telah dibuat oleh struktur sebelumnya melalui bahasa teks. Penjelasan apa pun tentang interaksi antara kedu­anya harus menyatukan struk­tur pengaruh (teks) dan tang­ gapan (pembaca). Dalam hal ini, tugas seorang peneliti adalah menguraikan makna potensial dari suatu teks, bukan membatasinya dalam makna tunggal. Tegasnya, makna potensial suatu teks tidak pernah terpenuhi dalam proses pembacaan. Oleh karena itu, penting bagi peneliti memahami suatu makna sebagai sesuatu yang terjadi karena hanya dengan cara itu, peneliti akan memahami faktor-faktor yang merupakan prakondisi komposisi dari suatu makna.

Adapun bentuk interpretasi tradisional, yang didasarkan pada pencarian makna tunggal oleh pembaca, cenderung meng­a­baikan karakter teks sebagai sesuatu kejadian dan penga­laman pembaca. Makna referen­sial dalam konteks ini, pada awalnya, bersifat estetis karena ia memberikan dunia sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Oleh karena itu, sifat estetis suatu makna merupakan sesu­atu yang berubah sendiri men­jadi determinasi diskursif (wacana), atau menurut Kant, disebut sebagai am­phibolik: yaitu pada suatu ketika bersifat estetis, pada waktu yang lain bersifat diskursif.

Perubahan ini dikon­disikan oleh struktur makna yang bersifat fiksi. Dalam melakukan interpretasi digu­na­kan teknik pemaknaan tunggal yang me­ne­rangkan adanya per­bedaan, menga­baikan sepe­nuhnya fakta bahwa penga­laman estetis melahirkan pengalaman nonestetis. Di sini makna dipahami sebagai sebuah ekspresi, atau bahkan repre­sentasi dari nilai-nilai yang diakui secara kolektif. Pende­katan teknik pemaknaan tunggal ini dipastikan meru­pa­kan kompilasi makna, karena tujuannya sendiri adalah menyampaikan apa yang dipahami sebagai pema­knaan teks yang objektif dan dapat dijelaskan.

Langkah-langkah di atas penting dilakukan karena teori yang berorientasi pada pembaca semenjak awal membuka kritik terhadap bentuk sub­jek­tivisme yang terkontrol. Hobsbaum secara tegas me­nun­jukkan adanya perbedaan dalam teori ini. Ia menga­takan bahwa teori-teori seni berbeda menurut derajat subjektivitas yang dikaitkan dengan tanggapan penerima, atau apa yang datang sebagai sesuatu yang sama, berbeda menurut tingkat objektivitas yang dikaitkan dengan karya seni.

Salah satu keberatan yang utama terhadap teori estetika resepsi adalah bahwa teori ini mengorbankan teks pada pemahaman yang sub­jektif, oleh sebab itu, menolak identitasnya sendiri. Semen­tara itu, keberatan yang lain adalah pada pengaruh teks sastra yang terdapat pada apa yang disebut Wimsatt dan Beardsley sebagai affective fallacy (kesalahan gagasan). Ini merupakan bentuk keka­cauan antara syair dan hasil­nya (apakah syair itu dan apa yang dilakukan syair itu). Sebagai konsekuensinya pen­dekatan baik dan buruk ha­nya berhu­bungan dengan sifat dari hasil. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul adalah persoalan yang sesung­guhnya tidak bersandar pada fakta sehingga kita lebih cenderung menyamakan sebu­ah karya seni dengan hasil diban­ding kualitas dari hasil itu.

Fakta inilah yang menye­babkan banyaknya persoalan estetis dalam karya sastra. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa teks mela­hirkan performansi makna daripada perumusan mak­nanya sendiri. Kualitas este­tisnya terdapat dalam struktur performansi yang jelas tidak dapat diidentikkan dengan produk akhir karena tanpa partisipasi pembaca individu, maka tidak akan terjadi performansi itu. Dengan de­mikian affective fallacy tidak dapat diaplikasikan pada teori estetika resepsi karena teori ini berkaitan dengan struktur performansi yang mendahului pengaruhnya. Lebih jauh, teori estetika resepsi melakukan pemisahan analitis terhadap performansi dan hasil sebagai premis dasar, dan premis ini biasanya tidak diperhitungkan ketika para pembaca atau kritikus bertanya “Apakah arti teks itu?”

Banyak tipe pembaca yang muncul ketika kritik sastra membuat pernyataan tentang pengaruh karya sastra atau tanggapan terhadap karya sastra. Dalam hal ini, terda­pat dua kategori. Pertama, kita menemukan pembaca sejati, yang dikenal dengan reaksinya yang terdo­kumentasi. Kedua, kita mene­mukan pembaca hipotetis, dengannya semua kemung­kinan aktualisasi teks dapat diproyeksikan. Kategori yang terakhir ini seringkali dibagi menjadi apa yang disebut sebagai pembaca ideal dan pembaca kontemporer.

Pem­baca riil terutama muncul dalam studi sejarah tangga­pan, misalnya, ketika perha­tian difokuskan pada cara dimana karya sastra diterima oleh publik. Adapun penilaian apa saja yang disampaikan pada karya itu juga akan mencerminkan kode kultural yang mengondisikan penilaian-penilaian tersebut. Dalam hal ini, setidak-tidaknya ada dua tipe pembaca kontemporer dan pembaca riil.

Yang pertama dibangun dari pengetahuan sosial dan sejarah kala itu, dan kedua diperhitungkan dari peranan pembaca yang disandarkan pada teks. Sementara itu hampir berlawanan secara diametris, pembaca kontem­porer menentukan pembaca ideal yang dimaksudkan. Dalam hal ini, sulit untuk menunjukkan dari mana pem­ba­ca ideal berasal. Namun demikian terdapat kecen­derungan yang mengklaim bahwa dia cenderung muncul dari pemikiran ahli filologi atau kritik itu sendiri.

Seorang pembaca ideal harus memiliki kode yang identik dengan kode yang dimi­liki penulis, bagaimanapun juga, para penulis biasanya menyusun kembali kode-kode yang ada di dalam teksnya, dan pembaca ideal juga ikut memberikan tujuan yang mendasari proses itu. Selanjutnya, pembaca ideal tidak hanya memenuhi makna yang potensial dari teks secara independen dari situasi historis­nya sendiri, tetapi juga harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pembaca ideal murni bersifat fiksi, dia tidak memiliki dasar dalam realitas, dan fakta inilah yang membuatnya men­jadi begitu berguna.

.

7.   Teori Resepsi pada Karya Sastra Jawa

Resepsi sastra Jawa telah berlangsung sejak abad X, Xl, XlI, XlV, zaman Kartasura, Surakarta Awal dan seterusnya. Karena itu analisis sastra secara reseptif perlu dilakukan. Teori resepsi estetika telah diperkenalkan di Jerman Barat pada tahun enam puluhan oleh Roman Jacobson di dalam artikel Libguistics and poeties. Buku Resepsi estetika diawali dengan dasar-dasar resepsi esthetika yang diletakkan oleh Hans Robert Jauss pada tahun 1970, Siegfried J. Schmidt tahun 1973, Rien Segers pada tahun 1980 dalam bukunya yang berjudul Het Lezen van Literatuur dan pada tahun 1982 dalam bukunya yang berjudul Receptie-Esthetika. Pada tahun itu juga Hans Robert Jauss menulis buku Aesthetic Experience and Literary Hermeneuties. Pada tahun 1985 Umar Junus menulis buku Resepsi Sastra. Resepsi sastra Jawa disesuaikan dengan pengalaman, latar belakang dan tujuan pembaca atau peresepsi.

Sastra ]awa telah mengalami proses sejarah yang cukup panjang, selama itu sastra ]awa ditiru, dikembangkan, diawetkan oleh juru salin dan diperbaharui. Karya sastra lama menjadi sumber inpirasi penciptaan karya sastra baru. Karya sastra baru diciptakan berdasarkan resepsi terhadap karya sastra lama dengan tambahan kreasi pembaru.

Resepsi sastra ]awa telah terjadi sejak awal pertumbuhan sastra ]awa Kuna pada awal abad X. Menurut konsepsi R.M. Ng. Poerbatjaraka sejarah sastra ]awa Kuna diawali dengan Kakawin Ramayana. Penulis kakawin ini tidak diketahui namanya. Kakawin ini telah dibahas R.M. Ng. Poerbatjaraka di dalam Kapustakaan Djawi. Beliau berpendapat bahwa:

……
Menggah tjarijosipun serat Ramayana DJ.K. punika anggelaraken lelampahanipun prabu Rama, Kados dene serat Ramayana basa Sanskerta damelanipun sang WALMIKI ingkang sampun kaaturaken ing ngadjeng. Ewa samanten wonten bedanipun. Ing Ramayana Sanskerta, sang Sita sasampunipun kondur dateng Ayodya, ladjeng pepisahan kalijan sang Rama. Ing Serat Ramayana DJ. K. sang Sita ladjeng terus kempal malih kaliyan sang Rama. (Poerbatjaraka 1952: 2-3).

.
Maksudnya lebih kurang sebagai berikut:

.
Adapun cerita kitab Ramayana Jawa Kuna itu menguraikan riwayat prabu Rama, seperti kitab Ramayana bahasa Sanskerta karya sang Walmiki yang telah diuraikan di muka. Di dalam Ramayana Sanskerta, sang Sita setelah pulang di Ayodya lalu berpisah dengan Rama. Di dalam kitab Ramayana Jawa Kuna sang Sita lalu langsung berkumpullagi dengan sang Rama.

.

Perbedaan akhir cerita Ramayana Sanskerta dengan Ramayana ]awa Kuna ini hasil resepsi pujangga penulis Ramayana ]awa Kuna yang lazim disebut kakawin Ramayana terbadap Ramayana itu demikian? Hal ini dipengaruhi oleh selera pembaca ]awa waktu itu sampai sekarang, pada umumnya mereka tidak senang terhadap cerita yang berakhir sedih. Mereka menginginkan cerita yang berakhir bahagia.

Resepsi sastra berikutnya terjadi pada abad XI ketika Mpu Kanwa menulis kakawin Atjunawiwaha untuk dipersembahkan kepada raja Airlangga. Kakawin ini hasil resepsi sang pujangga terhadap Wanaparwadan Kiratatjuniya. Pada abad XII tepatnya pada tahun 1079 C atau 1157 A.D. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh menulis Kakawin Bharatayuddha untuk dipersembahkan kepada raja Jayabhaya. Kakawin ini hasil resepsi sang pujangga terhadap beberapa parwa Mahabharata. Pada abad XIV tepatnya sesudah tahun 1365 clansebelum tahun 1389 Mpu Tantular menulis Kakawin Arjunawijaya. Kakawin ini hasil resepsi sang pujangga terhadap Uttarakanda.

Dasar faktor kedua cakrawala harapan yang dibangun pembaca menurut konsepsi Jauss adalah relasi implisit dengan teks bacaan yang telah dikenal dari periode sejarah sastra yang sarna. Harapan pembaca itu disesuaikan dengan pengalaman dan adat istiadat yang berlaku di sekitar pembaca. Relasi karya sastra basil resepsi pembaca dengan teks bacaan sumber resepsi dapat berupa persamaan atau paralelisme, kemiripan dan perbedaan atau varian konseptual, tekstual dan kontekstual.

Pada zaman Kartasura terjadi resepsi bagian akhir episode XI Adiparwa oleh penulis Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Relasi tampak pada pupuh CXI bait 11 sampai 14. Bunyi bagian akhir episode XI Adiparwa itu sebagai berikut:

……
Dateng ta bhagawan Byasa ri paturwan sang Ambika. Kasuluhan ta sira dening pajyut, kapilajatadhara, mawyang kumis nira, dumilah ikang mata. Tuminghalta sang Ambika, kagyatta siramerem tan wenang mulat, kunang twas nira kumelaken i pakon sang Gandhawatif. Amrih la sirangelaken ri pangharas bhagawan Byasa. Mojar ta sang Dwaipayana ri sang Ibu ling nira:

Ibu! Tan sangcaya rahadyan sanghuluan anaknira sang Ambika. Nagayutasamapranah. Kadi cakti ning parwata, tan kena inugahugah. Widya prajna matuh wiguna hetuna. Hana pwa wiguna lIing ibunya, merem tumon i rpa ni nghulun. Yata hetu ning putranya metu wuta. (H.H. luynboll: 1906: 106).

.

Maksudnya dalam bahasa Indonesia lebih kurang sebagai berikut:

.
Begawan Byasa datang di tempat tidur sang Ambika. Beliau terterangi oleh lampu, berkumis lebat, mata beliau bersinar. Sang Ambika melihat beliau, ia terkejut, lalu memejamkan mata karena tak kuasa melihat begawan Byasa, adapun hatinya takut terhadap perintah sang Gandhawati. Ia berusaha melupakan sentuhan Begawan Byasa. Sang Dwipayana berkata kepada ibunya:
Ibu, tuan hamba jangan jangan khawatir tentang anak sang Ambika. Kesaktiannya seperti gunung tak dapat digerak-gerakkan. Ada yang menyedihkan ibunya, karena memejamkan mata ketika melihat rupa hamba, itulah sebabnya puteranya lahir buta.

.

Pupuh CXI bait 11 sampai dengan 14 berbunyi sebagai berikut:

.

11. Sapraptane ing pura sang aji, ingkang rama resi Palasara, alon amanis wuwuse, lah kulup putraningsun, Abiyasa kapingin mami, aduwe wayah ingwang, lan mara garwamu, sarenana dipun inggal, Abiyasa ing manah ewa kepati, dhumateng garwanira.

12. Palasara wus wikan ing galih, lamun wau lumuh ingkang putra, esmu duka ing galihe, sigra wau sang sunu, pinanjingken ing kenya purl, kalayan sang dyah retna, kinunci pan sampun, Abiyasa duk samana, pan angungrum kang garwa denarih-arih, sarwi merem kewala.

13. Sang Ambayun dhasare awasis, amet ati angunggar ing priya, dadya karsa ta kakunge, semana sang abagus, nekakaken asmara kapti, sarwi meremra, sang Ambayun murcita sajroning ati, rahaden wus amedal.

14. Duk semana Ambayun sang dewi, lajeng wawrat, wus katur sang rama, Palasara ting sukane, wus lami wawratipun, wus atutuk semayaneki, babar wau kang putra jalu pan abagus, nanging datan darbe netra, ukur gatra netra kang jabang hayi, angungun Palsarah. (Asia Padmopuspito 1986. 108-109).

.

Maksudnya dalam bahasa Indonesia lebih kurang sebagai berikut:

.

11. Setiba di istana baginda, Ayahandanya yakni Resi Palasara berkata dengan lembut dan merdu: “hai putraku Abiyasa, saya amat ingin bercucu. Silakan tiduri segera isterimu!” Di dalam hati Abiyasa amat kurang senang kepada isterinya.

12. Palasara di dalam hati sudah tahu bahwa puteranya pada waktu itu enggan. Baginda agak marah di dalam hati. Puteranya segera dimasukkan ke dalam kamar puteri bersama-sama dengan sang puteri dan telah dikunci. Pada waktu itu Abiyasa merayu isterinya sambil memejamkan mata.

13. Sang Ambayun memang pandai membangkitkan asmara pria sehingga sang suami bergairah. Sang bagus melaksanakan permainan asmara dengan memejamkan mata saja, tidak suka melihat. Setelah selesai sang Ambayun puas hatinya, raden Abiyasa telah keluar.

14. Pada waktu itu dewi Ambayun lalu hamil. Hal itu diberitahukan kepada ayahandanya. Palasara amat gembira. Setelah sampai saatnya, lahirlah putera laki-laki bagus rupawan tetapi tak bermata. Mata bayi itu hanya gatra saja. Palasara heran.

Kedua teks di muka mempunyai konsepsi sebab akibat. Konsepsi akibat kedua teks itu sarna yakni putera Abiyasa itu buta. Tetapi konsepsi sebab kedua teks itu berbeda. Pada teks Adiparwa yang memejamkan mata sang Ambika. Sedangkan pada teks Seral Kandhaning Ringgit Purwa yang memejamkan mata adalah Abiyasa. Varian ini merupakan resepsi penulis Serat Kandhaning Ringgit Purwa terhadap Adiparwa. Resepsi ini ditandai oleh adat istiadat Jawa bahwa akibat buruk kelahiran bayi adalah disebabkan ulah bapaknya. Sedangkan teks Adiparwa bersumber dari Mahabharata Sanskerta yang berlandaskan paham Hinduisme. Di dalam paham Hinduisme kedudukan seorang resi amat tinggi, sehingga kelahiran bayi yang cacat putera resi Byasa dengan dewi Ambika itu bukan kesalahan resi Byasa, melainkan kesalahan Dewi Ambika.

Varian konsep yang lain adalah tokoh yang menyuruh bagawan Byasa melakukan perkawinan. Pada teks Adiparwa tokoh itu ibu begawan Byasa yang bemama Dewi Gandhawati dan pada teks Serat Kandhaning Ringgit Purwa tokoh itu ayah sang begawan yang bemama Prabu Palasara. Latar belakang resepsi ini adanya anggapan bahwa peranan raja lebih besar daripada permaisuri.

Varian berikutnya adalah nama ibu si bayi yang buta. Di dalam teks Adiparwa bemama Ambika dan di dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa bemama Ambayun. Nama ini benar-benar sebuah kreasi karena di dalam teks Jawa Kuna hanya terdapat nama Amba, Ambika dan Ambalika. Varian yang tidak jauh berbeda adalah nama Byasa yang menjadi Abiyasa.

Pada zaman Surakarta awal terjadi resepsi Serat Rama, Wiwaha, Bimasuci, Bratayuda dan Suluk Malang Sumirang oleh Yasadipura pada waktu sang pujangga menulis Serat Cebolek. Pendahuluan Serat Cebolek merupakan hasil resepsi Yasadipura I terhadap pendahuluan Serat Rama. Tiga gatra pupuh I bait pertama Serat Rama berbunyi sebagai berikut:

Taboeh sapta noedya Buda Manis,

…………………………..

ing mangsa kapat woekoene,

Koerantil Dje kang taoen

(I-I-a, c-d him 3).

.

Maksudnya dalam bahasa Indonesia lebih kurang sebagai berikut:

.

Pukul tujuh ketika hari Rabu Legi,

………………………….

pada musim keempat wuku

Kurantil tahun Je,

.

Tiga gatra pupuh I bait pertama Serat Cebolek berbunyi sebagai berikut:

.

Tabuh sapta enjing sukra manis

mangsa sapta kang wuku Galungan

…………………………..

ing taun Je sangkala Jawi

(I-l-a-b. ehlm 197).

.

Maksudnya dalam bahasa Indonesia lebih kurang sebagai berikut:

.

Pukul tujuh pagi hari Jumat Legi.

musim ketujuh wuku Galungan

…………………………..

Tahun Je sengkalan lawa.

Varian tekstual yang disebabkan oleh varian konseptual adalah: kata noedya bervariasi dengan enjing, kata boeda bervariasi dengan sukra, kata kapat bervariasi dengan sapta, kata koerantil bervariasi dengan galungan. Latar belakang resepsi adalah pengalaman pembaca. Seperti umum diketahui bahwa Serat Rama adalah karya bersama Yasadipura I dan II. Ini berarti bahwa Yasadipura I meresepsi karyanya sendiri.

.

C.   Resepsi Pembaca

1.    Pengertian Resepsi Pembaca

Secara etimologis istilah resepsi berasal dari kata reception yang diartikan sebagai penerimaan atau tanggapan pembaca. Beberapa ahli mengemukakan tentang konsep resepsi pembaca, di antaranya menurut Endraswara (2008: 115) adalah penelitian yang ditunjukkan pada aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Teeuw (1984: 152) yang mengemukakan resepsi pembaca sebagai penerimaan atau tanggapan pembaca terhadap karya sastra yang diberikan berdasarkan pemaknaan terhadapnya.

Selanjutnya Holland (dalam Junus, 1985: 1) mengemukakan bahwa konsep resepsi pembaca adalah tentang bagaimana pembaca sebagai pemberi makna terhadap ruang kosong pada teks karya sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Junus (1985: 1) yang menyatakan resepsi pembaca ialah:

……
Bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif. Atau mungkin bersifat aktif, yaitu bagaimana ia merealisasikan-nya. Dengan resepsi pembaca terjadi suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra, yang berbeda dari kecenderungan yang biasa selama ini. Selama ini; tekanan diberikan kepada teks, dan bentuk kepentingan teks ini, biasanya untuk pemahaman, seseorang “peneliti” mungkin saja pergi kepada penulis.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan resepsi pembaca adalah telaah penerimaan atau tanggapan pembaca terhadap suatu karya sastra sebagai pemberi makna sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Pengertian tersebut yang akan digunakan sebagai dasar pijakan dalam penelitian resepsi ini.

.

2.   Aspek dan Jenis Resepsi Pembaca

Aspek penelitian resepsi pembaca pada dasarnya juga merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks, reaksi termaksud dapat positif dan juga negatif, mungkin pembaca akan senang, gembira dan tertawa dan segera mereaksi dengan perasaannya. Reaksi terhadap teks sastra tersebut dapat berupa sikap dan tindakan untuk memproduksi kembali, menciptakan hal yang baru, menyalin, atau juga meringkas. Sebaliknya reaksi yang bersifat negatif mungkin pembaca akan sedih, jengkel, bahkan antipati terhadap teks sastra.

Reaksi pembaca tersebut pada dasarnya akan sampai pada pemaknaan teks sastra. Pembaca harus membuat konkretisasi sendiri berdasarkan pengalamannya atas teks sastra. Pembaca akan memanfaatkan kode-kode tertentu menurut pemahamannya. Konkretisasi itu berada pada ketegangan antara struktur karya sastra dan norma yang dominan pada masa tertentu. Dominasi sastra apalagi kalau norma tersebut berhubungan dengan kondisi sosial, budaya dan politik, jelas akan mempengaruhi karya sastra.

Dari reaksi pembaca di atas, kemungkinan pembaca akan menilai sebuah teks sastra, aneka watak sastra akan menjadi bahan penilaian pembaca. Pada saat itu peneliti dapat meneliti langsung kepada pembaca teks sastra. Tingkat pertanyaan resepsi dapat bergerak pada kesan-kesan pembaca sampai ke tingkat reaksi terhadap bermutu atau tidaknya teks sastra.

Pada dasarnya penelitian mengenai reaksi pembaca ini dapat di golongkan menjadi dua kelompok (Endraswara, 2008: 120). Pertama, peneliti dapat menanyakan langsung atau melalui sebuah media tentang reaksi pembaca terhadap teks. Kedua, peneliti dapat menyelidiki resepsi pembaca melalui lahirnya teks-teks baru yang sejenis. Tinjauan yang kedua ini, sebagaian besar menarik bidang filologi dan sastra perbandingan. Inti dari penelitian ini adalah mencari transformasi teks sastra dari waktu ke waktu.

.

3.   Kategori Pembaca

Pada penjabaran sebelumnya telah disinggung bahwa pembaca menjadi fokus utama dalam penelitan resepsi ini. Beberapa ahli telah membedakan tipe-tipe pembaca dalam peneltian resepsi. Menurut Endraswara (2008: 125-126), pembaca dibagi menjadi tiga kategori pembaca berdasarkan pendapat para ahli, yakni super reader dari Riffartere, informed reader dari Fish, dan intended reader dari Wolf. Berbeda istilah dengan Endraswara tersebut, Segers (dalam Junus, 1985: 52), juga membedakan pembac menjadi tiga kategori, yakni pembaca ideal, pembaca implisit, dan pembaca real/biasa.

Perbedaan kategori pembaca antara Endraswara dan Segers sebenarnya memiliki pengertian yang sama. Kategori Super reader adalah pembaca yang berpengalaman, pembaca kritis yang banyak mengetahui teori sastra sehingga mampu memahami hubungan semantik dan pragmatik teks sastra. Pembaca ini sama dengan pembaca ideal, yakni pembaca yang mempunyai kontruksi hipotesis seorang teoretikus dalam proses interprestasi. Kategori Informed reader mempunyai pengertian yang sama dengan pembaca implisit yakni, pembaca yang tahu dan mempunyai kompetensi bahasa, semantik, dan kode sastra yang cukup sehingga mampu menggunakan kode-kode tekstual secara menyeluruh. Kategori intended reader adalah pembaca yang telah berada dalam benak penulis ketika merekontruksikan idenya. Pembaca ini mempunyai kesejalanan dengan pembaca real/biasa, yakni pembaca dalam arti sebenarnya, yang membaca karya sastra sebagai karya sastra, bukan sebagai bahan penelitian.

Beberapa ahli berbeda pandangan mengenai tipe pembaca yang paling tepat sebagai objek penelitian resepsi sastra. Teeuw memiliki kecenderungan bahwa tinjauan resepsi selayaknya diorientasikan kepada pembaca ideal atau super reader. Pradopo (2003: 116) juga secara eksplisit mengemukakan pendapat yang sama, yakni pembaca yang dimaksud dalam resepsi sastra adalah pembaca ahli. Sedangkan Segers dan Endraswara berpendapat sebaliknya. Menurut Segers, pembaca real lebih tepat menjadi objek kajian mengingat pembaca tipe ini memberikan arti individual kepada struktur-struktur yang direpresentasikan oleh pengarang. Dengan demikian, pembaca real jauh lebih penting bagi estetika resepsi daripada kategori pembaca ideal dan implisit yang keduanya lebih merupakan kontruksi-kontruksi hipotesis.

.

D.   Penerapan Teori Resepsi

Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (dalam Pradopo 2007: 209) apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.

Tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi, konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembaca, tingkat pengalaman, dan usia pembaca. Dalam tulisan ini, penulis memilah metode penelitian sastra menjadi dua metode, yaitu metode resepsi sinkronis dan metode resepsi diakronis. Kedua metode ini dibedakan menurut kemunculan tanggapan dari pembaca atas karya sastra yang dibacanya.

1.    Penerapan Metode Resepsi Sinkronis

Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental.

Penelitian resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar dalam pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah (dalam Jabrohim 2001: 119) bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.

Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronis ini pernah dilakukan oleh Dini Eka Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes, yang meneliti resepsi masyarakat atas cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya yang berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu (2008).

Dalam penelitiannya, Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan metode penelitian sinkronis. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas cerita Bledhug Kuwu dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu zaman. Penelitian yang dilakukan Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi masyarakat Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan. Hasil penceritaan ulang dianalisis struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita yang diterbitkan Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi responden dalam penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang berada dalam satu periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati termasuk penelitian resepsi sinkronis.

Masih jarang penelitian resepsi sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra maupun para mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.

.

2.   Penerapan Metode Resepsi Diakronis

Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode. Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu. Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.

Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan. Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern.

Metode diakronis yang banyak dilakukan adalah penelitian tanggapan yang berupa kritik sastra. Penelitian resepsi diakronis pernah dilakukan oleh beberapa ahli sastra, misalnya Yusro Edy Nugroho dalam artikel berjudul Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca (2001), Agus Nuryatin dengan artikel Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani dengan artikel berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia (2001), dan Muhammad Walidin dengan artikel berjudul Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer (2007).

Nugroho (2001) dalam artikel berjudul Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca menggunakan karya sastra turunan sebagai respondennya. Penelitian ini menggunakan metode diakronis karena karya sastra yang digunakan muncul pada kurun waktu yang berbeda. Karya sastra turunan yang digunakan adalah Wedhatama Winardi (1941), Wedhatama Kawedar (1963), dan Wedhatama Jinarwa (1970).

Dalam penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang pembaca dapat memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai dengan apa yang dikuasai dan diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta teks turunan ini telah meresepsi Serat Wedhatama dengan tujuan untuk memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman selanjutnya.

Penelitian lain yang menggunakan metode resepsi diakronis adalah penelitian yang dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam ini, Nuryatin menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra yang berupa artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu antara tahun 1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis.

Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan kelompok-kelompok tanggapan pembaca atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yaitu tanggapan positif dan negatif. Pembaca yang digunakan dalam penelitian Nuryatin ini adalah pembaca ideal. Pembaca ini melakukan pembacaan terhada karya sastra secara mendalam, karena ada tujuan lain dari proses pembacaan itu.

Penelitian resepsi diakronis juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam artikel yang berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani menggunakan pembaca ideal sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses penelitian terhadap tanggapan pembaca dilakukan atas kritik yang diberikan oleh pembaca ideal. Dalam penelitiannya Sastriyani juga membandingkan tanggapan antara Madame Bovary dengan Belenggu. Dari proses penelitian diakronis ini, Sastriyani dapat menunjukkan pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame Bovary di Indonesia.

Penelitian terakhir yang menggunakan penelitian resepsi dengan metode diakronis adalah Walidin yang menganalisis tanggapan pembaca terhadap seksualitas dalam novel Indonesia kontemporer, yaitu novel Saman karya Ayu Utami yang mengungkap heteroseksualitas secara vulgar, Supernova karya Dewi Lestari yang memperkenalkan homoseksualitas kaum gay, dan Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herliniatin yang mengangkat cinta sejenis kaum lesbian. Walidin menggunakan hasil kritik beberapa pembaca terhadap salah satu atau ketiga novel tersebut. Hasil kritik ini diperoleh dari hasil wawancara maupun dari sumber lain, seperti internet atau koran yang berbentuk ulasan.

Hasil yang diperoleh Walidin dari penelitian dalam artikel Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer ini adalah bentuk-bentuk tanggapan atas ketiga novel yang dikaji, baik tanggapan posif maupun tanggapan negatif. Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa resepsi pembaca atas karya sastra bergantung pada periode pembaca itu berada. Perbedaan periode memengaruhi tanggapan yang diberikan pembaca terhadap suatu karya sastra.

.

3.   Kelebihan dan Kelemahan Metode Penelitian Resepsi Sastra

Masing-masing metode dalam penelitian mempunyai kelebihan dan kelemahan. Begitu juga dalam penelitian resepsi sastra. Masing-masing metode, baik sinkronis maupun diakronis, mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut beberapa ahli, penelitian sinkronis mempunyai beberapa kelemahan dari segi proses kerjanya, karena termasuk penelitian eksperimental. Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001: 119) penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan.

Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori. Selain itu, penelitian sinkronis hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan pemabaca pada satu kurun waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit beberapa tahun yang lalu, akan sulit membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa sekarang, karena terbentur masalah waktu.

Kelebihan dari penelitian resepsi sinkronis atau eksperimental ini antara lain (1) reponden dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu, (2) penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan kritik atau ulasan mengenai karya sastra, dan (3) dapat dilakukan pada karya sastra populer.

Pada penelitian resepsi diakronis, peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan. Biasanya penelitian dengan menggunakan karya sastra turunan dapat berupa karya sastra turunan dari karya sastra lama, karya sastra tradisional, maupun karya sastra dunia.

Dalam metode diakronis ini, peneliti juga dapat menerapkan teori lain, seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung penelitian resepsi diakronis. Hal ini umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra turunan. Kelebihan lain dari penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan peneliti dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya sastra. Sehingga peneliti tidak harus bersusah payah mencari data dengan teknik wawancara maupun kuasioner pada responden.

Kelemahan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan oleh para peneliti pemula. Umumnya peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian. Karena umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya oleh peneliti-peneliti terdahulu, misalnya pada penelitian tanggapan atas Belenggu, Madame Bovary, Sri Sumarah dan Bawuk.

Selain itu, dalam penelitian terhadap karya sastra turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti akan kesulitan dalam menemukan teks asal dari karya sastra turunan tersebut. Dalam bidang puisi, peneliti yang menganalisis resepsi atas puisi Gotoloco karya Goenawan Mohamad akan merasa kesulitan dalam mencari teks Gatoloco yang asli. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh peneliti teks puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad dan Subagiyo Sastrowardoyo, bahkan untuk beberapa puisi modern yang mengadopsi cerita-cerita pewayangan.

.

E.   Penutup

Ada berbagai macam teori sastra yang diterapkan dalam menganalisis suatu karya sastra, dan di sini terfokus hanya pada teori resepsi sastra. Teori resepsi sastra yang bisa didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Teori resepsi sastra merupakan teori yang memfokuskan pembaca pembaca sebagai subjek yang aktif dalam menanggapi dan memaknai sebuah karya sastra, dalam memaknai karya sastra tiap orang akan berbeda dengan orang lainnya, dan bukan hanya tiap orang akan tetapi tiap periode juga berbeda dalam memaknai karya sastra.

Perbedaan itulah yang memunculkan akan adanya cakrawala harapan dan tempat terbuka. Dan ini dari estetika resepsi yakni bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapatkan resepsi atau tanggapan para pembacanya. Menurut jauss (1974: 12-3) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya akan terungkap (Jauss, 1974: 14).

Dalam menganalisis karya sastra yang menggunakan teori resepsi sebagai landasannya, maka bisa dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu dengan metode sinkronik dan diakronik. Di mana sinkronik merupakan penelitian terhadap karya sastra dalam kurun waktu yang sama atau era yang sama, dan biasanya karya sastra yang diteliti yaitu karya sastra yang lagi meledak atau booming pada saat itu. Sedangkan metode diakronik yaitu sebuah metode penelitian terhadap karya sastra dalam beberapa periode. Periode yang dimaksud di sini yakni dalam perjalanan waktu. Metode diakronik ini bisa diterapkan pada karya sastra yang memiliki sejarah. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.

Resepsi sastra beorientasi pada pendekatan pragmatik yang memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca dalam karya sastra. Tanggapan pembaca terhadap sebuah karya sastra sejak dari dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Dari tanggapan pembaca kritis dari tahun 70-an, 80-an, dan 90-an baik pro maupun kontra pada cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam, Umar Kayam mampu melukiskan warna lokal yang sangat kental dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun beberapa pembaca kritis menganggap cerpen ini terlalu banyak istilah Jawa yang akan menyulitkan pembaca non-Jawa.

.

Daftar Pustaka

.

Aminuddin. 1990. Metode Kualitatif dalam Penelitian Karya Sastra dalam Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang:  Yayasan A3.

Aminuddin. 1990. Metode Kualitatif dalam Penelitian Karya Sastra dalam Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang:  Yayasan A3.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta:  Media Pressindo

Fokkema, D.W. dkk. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London:  C. Hurst Company.

Holub, C Robert. 1984. Reception Theory. A Critical Introduction. London and New York. Metheun.

Ibrahim. 1986. Buku Materi Pokok Kesusastraan. Jakarta:  Dekdikbud Universitas Terbuka.

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:  Hanindita Graha Widia.

Jasadipura, R.Ng. 1925. Serat Rama. Weltervreden:  Bale Pustaka.

Jauss, Hans Robert. 1982. Aesthetic Experience and Literary Hermeneutics. Minneapolis:  University of Minnesota Press.

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:  Penerbit P.T. Gramedia.

Luxemburg, Jan Van. et al. 1992. Pengantar Ilmu Sastra diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta:  Gramedia.

Maslikatin, Titik. 2007. Kajian Sastra:   Prosa, Puisi, Drama. Jember:  Unej Press.

Newton, K.M. 1990. Menafsirkan Teks:  Pengantar Kritis Kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra. Semarang:  IKIP Semarang Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:  Gadjah Mada Universitas Press.

Padmopuspito, Asia. 1986. Serat Kandha Ringgit Purwa jilid 4. Jakarta:  Penerbit Djambatan.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Djawi. Djakarta:  Penerbit Djambatan.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1975/1976. Prosa Kesusatraan Indonesia Modern Sebelum Perang Dunia II. Yogyakarta:  Lemlit UGM

Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prisnsip-Prisnsip Kritik Sastra. Yogyakarta:  Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:  Pustaka Belajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.

Rahmawati, Dini Eka. 2008. Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu. Skripsi. Semarang:  Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Sastra dan Cultural Studies:  Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar

Sastriyani, Siti Hariti. 2001. Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 3/2001, Yogyakarta:  Gajah Mada University Press.

Segers, R.T. 1978. Recepti -Esthetika. Netherlands:  Huis aan dedrie grachten.

Sudibjo Z. Hadisutjipto dIck. 1981. Serat Cebolek. Jakarta:  Dep.Dik. Bud. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaaan. Bandung:  Pustaka Jaya.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:  CV Alfabeta.

Tarigan, H.G. 1990. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung:  Angkasa.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra:  Pengantar Ilmu Sastra:  Pengantar Teori Sastra, Jakarta. Pustaka Jaya.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:  Dunia Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesastraan Terjemahan Melani Budianta Dari Theory Of Literature (1977). Jakarta:  PT Gramedia.

.

 

sumber: https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2017/03/26/teori-resepsi-sastra-dan-penerapannya/

Hits: 3

News Reporter