Elisabeth Kübler-Ross meneorikan bahwa untuk menghadapi kehilangan, seseorang akan mengalami tahap DABDA: Denial – Anger – Bargaining – Depression – Acceptanc
Dimana jika kita breakdown
1. Denial : The first reaction is denial. In this stage individuals believe the diagnosis is somehow mistaken, and cling to a false, preferable reality.
[Reaksi pertama adalah penolakan. Dalam tahap ini seseorang mempercaya bahwa keadaan yang sekarang adalah suatu kesalahan, dan cenderung untuk mempercayai hal yang salah]
Dalam tahap ini ente merasakan bahwa apa yang terjadi tidaklah nyata dan cenderung menggangap bahwa realita yang ada itu suatu kebohongan, hal ini standar apabila ente pada awalnya tidak mampu menerima kejadian berat tsb
2. Anger : When the individual recognizes that denial cannot continue, it becomes frustrated, especially at proximate individuals. Certain psychological responses of a person undergoing this phase would be: “Why me? It’s not fair!”; “How can this happen to me?”; ‘”Who is to blame?”; “Why would this happen?”.
[Ketika orang tersebut sadar bahwa penolakan ini tidak bisa berlanjut, dia frustasi, apalagi jika dia kehilangan orang yang sangat dekat. Beberapa respon psikologis dalam tahap ini bisa berupa : “Kenapa gw ? Ga adil !”, “Kenapa terjadi sama gw?” ,”Gw harus nyalahin siapa ?”, dsb, dsb.]
Dalam tahap ini ente mulai (sedikit) menerima dengan realita tapi di satu sisi, ente merasa hal ini bukanlah suatu hal yang dapat diterima, ente di tahap ini akan mencari kambing hitam, entah itu tetangga sebelah, kucing lewat, tahayul, bahkan mungkin pemerintah (intinya tahap ini adalah tahap dimana rasionalisasi agan sangat sulit bekerja)
3. Bargaining : The third stage involves the hope that the individual can avoid a cause of grief. Usually, the negotiation for an extended life is made in exchange for a reformed lifestyle. People facing less serious trauma can bargain or seek compromise.
[Tahap ketiga ini mengkaitkan harapan bahwa org tsb akan menghindari sebab dari kedukaan tsb. Biasanya, jika tahap negosiasi ini berlanjut cukup lama, akan ada perubahan dalam pola hidup. Orang yang menghadapi trauma serius dapat mencari kompromi agar perasaan luka tsb bisa menjadi lebih ringan.]
Dalam tahap ini agan mulai tawar-menawar dengan keadaan disekitar untuk mengurangi “perasaan merugi” yang diderita agan, baik itu terhadap diri sendiri, ataupun orang lain
4. Depression : “I’m so sad, why bother with anything?”; “I’m going to die soon so what’s the point?”; “I miss my loved one, why go on?”
During the fourth stage, the individual becomes saddened by the mathematical probability of death. In this state, the individual may become silent, refuse visitors and spend much of the time mournful and sullen.
[Dalam tahap ke 4 ini, org tsb akan dibebani problematika kehidupan. Dalam tahap ini, ybs mungkin menjadi lebih diam, menolak untuk bicara dengan orang lain, dan memilih untuk sendiri]
Dalam tahap ini agan, sudah mulai merasa putus asa, tidak mampu memberikan perhatian pada hal-hal disekitar agan, dan cenderung menjauhkan diri dari sosial
5. Acceptance : “It’s going to be okay.”; “I can’t fight it, I may as well prepare for it.”; “Nothing is impossible.”
In this last stage, individuals embrace mortality or inevitable future, or that of a loved one, or other tragic event. People dying may precede the survivors in this state, which typically comes with a calm, retrospective view for the individual, and a stable condition of emotions.
[Tahap terakhir ini, ybs akan menerima dengan tenang, melihat hal ini dari emosi yang lebih stabil]
Dalam tahap ini penerimaan dari diri agan mulai bisa di rasakan secara stabil, dan agan akan terus moving forward
Sumber:
Hits: 19